Friday, November 5, 2010

part 2

Klik. Dan, berhasil di-posting. Tepat pukul dua dini hari. Ia close halaman mozilla firefox yang terbuka dan mengklik simbol stop pada windows media player yang menyala. Ia tutup beranda yahoo messengers yang tak bergeming dari tadi. Dilanjutkan dengan mengklik kata shut down pada sudut bawah bagian kiri layar. Ia tutup layar monitor hingga menyatu dengan keyboard. Malam pun semakin larut.
Berbunyi mesin alarm di ponsel. Sudah sekitar sebelas tahun mesin itu membangunkan lelapnya. Mesin alarm itu bisa ia ganti dengan bunyi yang disukainya—lagu bersemangat milik penyanyi asing dengan beat menghentak ataupun sekadar bunyi tit-tit-tit saat ia tidak ingin bunyi kegaduhan menyambut paginya. Kadang, ia rindu mendengar suara ibunya yang teriak dari lantai bawah sebagai bunyi alarm saat ia harus bergegas bangun untuk sekolah. Suara alarm itu kerap berbeda nada setiap hari. Terkadang alarm itu akan bernada teriak yang netral, teriak yang kesal, atau kadang teriak yang menggempar. Kadang juga, ia rindu mendengar suara ayam yang berkokok sebagai alarm yang kerap membangunkannya ketika ia masih tinggal di kota kecil sekitar tujuh belas tahun lalu.
Kini kebiasaan itu tidak lagi ada. Alarm berbunyi suara ibu dan suara ayam tidak lagi membangunkan paginya. Kini alarm sudah diganti oleh sebuah mesin yang akan selalu berbunyi dengan nada dan intonasi yang sama persis. Seandainya saja ia mampu, ingin rasanya membuat sebuah mesin dengan program bunyi suara ibu atau suara ayam yang nada dan tekanannya akan selalu berbeda setiap kali berbunyi.
Sudah setahun ia tinggal di tempat ini setelah beberapa kali pindah, tentunya dengan alasan. Dan, sudah setahun pula ia tidak pernah mendengar suara kokok ayam atau kicauan burung menyambut paginya. Sekiranya sama saja dengan tempat tinggalnya sebelum ini. Bisa dimaklumi mengingat ayam sudah jarang ditemui pasca-flu burung yang mewabah beberapa tahun lalu. Bisa dimaklumi pula burung enggan terhimpit antara atap rumah yang saling berdekatan.
Suara tukang sayur, tukang susu murni, atau tukang sampahlah yang kerap menjadi alarm di daerah tempat tinggalnya. Beberapa kali ia tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara tukang susu begitu berat, dalam, dan diakhiri dengan teriakan di akhir pelafalan “susu”. Beberapa kali juga ia terganggu dengan suara tukang sayur yang begitu keras dan panjang melengkingkan bunyi /r/ pada pelafalan “sayur”. Ya, hanya beberapa kali pada awal ia tinggal di sini karena setelah itu ia sudah menyiapkan alarm dengan bunyi kesukaannya sebelum alarm suara tukang-tukang itu membangunkannya.
Pukul tujuh pagi. Hari ini ia bisa bangun dua jam lebih lama dari hari biasanya. Teve terus menyala dari malam sebagai peneman tidurnya. Ketakutannya akan keheningan malam yang membuat teve itu selalu menyala karena ia terlalu ngeri jika malamnya diganggu dengan suara-suara aneh tak terdeskripsi dari luar kamarnya. Terkadang, ia akan minta teman prianya untuk bermalam di sana jika ia sedang tidak ingin tidur sendiri. Hanya saja sering teman prianya menolong dengan pamrih, mengharapkan ia dapat memuaskan hasratnya sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan. Belakangan ia rindu merasakan hangat tubuh pria di sampingnya sebagai peneman tidur, yang akan mendekap tubuhnya, sambil mendengarkan bunyi detakan jantung sebagai musik pengantar tidur.
Sudah hampir dua bulan ia tidak merasakan hangatnya tubuh pria. Terakhir adalah pria hitam bertato salib di lengan kanan dan tubuh berisi yang kerap mendekapnya. Ia mengenalnya lewat situs jejaring sosial. Ia tak ingat awal perkenalannya kapan. Yang pasti setelah sekali berbincang di situs itu, pria hitam itu meminta nomor ponselnya. Ia sebagai wanita yang masih sendiri sama sekali tak menolak memberikan nomornya. Dilanjutkan dengan perbincangan lewat pesan singkat dan bertelepon.
Tak perlu waktu lama, pria itu lantas menginginkan sebuah hubungan lebih dari teman. Dan, tanpa pertimbangan ia mengiyakan. Janji bertemu. Ia agak kecewa setelah tahu pria itu hanya tamat sekolah menengah atas. Agak kecewa juga setelah pria itu bercerita tentang masa lalunya yang beringas. Hanya saja ia selalu meneguhkan diri dan mengatakan bahwa mencoba itu tidak salah.
Mungkin begini rasanya usia yang tidak lagi dikatakan sebagai gadis muda. Ia merasa umur dua puluh sembilan tahun pada wanita yang masih sendiri adalah usia yang tidak punya kesempatan lagi memilih. Baginya wanita itu berumur pendek. Jadi wajar kalau sekarang ia menerima dengan lapang dada pria yang mendekatinya, berharap ia akan segera menuntaskan masa sendirinya.
Ketika itu bulan Agustus. Pria hitam itu datang membawa janjinya bahwa ia bukan pria yang ingin main-main lagi. Ia ingin cari istri. Ia mengatakan dirinya sudah mapan. Katanya, ia sudah memiliki sebuah rumah di kota wisata yang semua orang pasti akan mengira rumah di daerah itu hanya dipunyai mereka yang berekonomi menengah ke atas. Begitu cara pria itu menjual diri. Sayang, ia begitu tidak nyaman mendengarnya. Bukan apa-apa. Ia merasa kalau pria yang sudah merasa mapan dalam hal ekonomi, pria itu akan dengan mudahnya mengendalikan wanita karena merasa punya kuasa. Ya, begitulah cara ia berpikir. Selalu memosisikan hal buruk sebagai prioritasnya agar ia bisa siap mental.
Pria hitam itu sering datang ke rumah kontrakan ia. Berbagi cerita. Terlebih sering berbagi rasa dalam keintiman tubuh. Sampai pada akhirnya ia bosan melakukannya dengan pria hitam itu. Ia merasa status hubungannya hanya sebuah kamuflase pria hitam itu yang haus akan napsu. Ia putuskan untuk mengakhiri hubungan itu tepat dua minggu mereka menjalin rasa. Ah bukan, lebih tepatnya menjalin kebohongan rasa. Ia utarakan alasannya. Dan, kau tahu apa yang pria itu katakan?
Pria itu malah mengajukan negoisasi. Pria itu mengatakan bahwa hasrat seksual harus terlampiaskan secara rutin. Itu kebutuhan. Harus dilakukan dengan rutinitas. Kalau kamu menolak tiap hari untuk melakukan rutinitas itu, lantas maumu berapa kali kita harus melakukannya? Tanya pria hitam itu pada ia.
Ia terhenyak. Apakah hubungan rasa harus dibumbui dengan aktivitas itu? Ia lelah. Ia lelah jika harus melakukannya dengan keterpaksaan, apalagi menjadikannya rutinitas. Sungguh ketika pria hitam itu meminta negoisasi, tertutup asa untuk menjalin hubungan dengannya.
Bagaimana kalau seminggu tiga kali? Atau seminggu sekali juga tidak masalah. Aku tidak mau munafik. Aku butuh itu. Kata pria hitam itu lagi. Maaf, sebuah hubungan bagiku bukan soal angka, tapi rasa. Bukan soal rutinitas aktivitas, tapi kualitas sikap. Cari saja wanita lain yang mampu memuaskan napsumu. Selamat tinggal. Jawab ia menutup pembicaraan mereka.
Pacaran. Susah baginya memaknai kata itu. Pacaran baginya tidak lebih bermakna hubungan yang dibangun oleh dua individu yang berasal dari adanya hal yang bisa saling menguntungkan kedua belah pihak, terlepas dari ketertarikan paket diri lawan jenis itu sendiri. Dunia memang sudah membuat manusia menjadi ekonomis. Ah bisa jadi manusia yang akhirnya membuat setiap pilihan yang tersedia di dunia atas dasar untung-rugi. Yang pasti, pria hitam itu sudah mendapatkan untung berupa kepuasan pelampiasan hasratnya dan ia sebagai wanita mendapatkan untung yang sama, hanya saja dalam kadar yang berbeda. Selebihnya, ia merasa rugi karena tubuhnya hanya dijadikan pelampiasan. Ini kali pertama ia menjalin rasa lewat status yang dinamakan dunia dengan pacaran. Nyatanya benar, status pacaran pertama ini memantapkan persepsinya bahwa status ini tak ada ubahnya dari hubungan dengan pria-pria terdahulu, yang dunia kenal dengan sebutan hubungan tanpa status.
Sudah pukul tujuh lewat tiga puluh. Setengah jam setelah alarm berbunyi ia tetap berbaring sambil memikirkan si pria hitam itu. Tolong dimaklumi jika ia masih mengingatnya. Dua bulan bukan waktu yang cukup untuk menghapus kenangan begitu saja. Menerobos cahaya ketika gordin kamar ia buka. Ia tarik napas dalam dan membuangnya panjang. Itu cara ia bersyukur kepada Pencipta karena masih memberinya kesempatan bernapas dalam tanpa beban.
Jarum detik jam terus menggeliat. Ia tidak boleh telat. Waktunya beribadat telah dekat. Ia gegaskan diri. Menyalakan air panas pada dispenser. Ia rapikan selimut seadanya. Ia ambil gelas yang berhari-hari dipakai untuk diisi air hangat yang belum lagi hangat pada dispenser yang baru saja menyala. Sekali teguk dan lega. Lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan, dimulailah kegiatan rutinnya sebagai wanita, merias diri. Dengan handuk yang masih menempel di tubuhnya, ia ambil pelembab yang berdiri tegak di meja rias. Dipoleskannya ke wajah sampai rata. Dilanjutkan dengan alas bedak yang tutupnya tinggal ditekan lalu akan memuntahkan cairan kental dan diletakkan pada punggung tangannya. Telunjuk tangan kanan mencolek cairan kental itu dan memoleskannya pada dagu, hidung, pipi kanan dan kiri, serta kening. Ia ratakan dengan sigap seolah telah ahli. Lalu ia tutupi lagi dengan bedak pada wajahnya yang telah berpelembab dan beralas bedak. Perona pipi disapukan halus pada daging pipi kanan-kiri. Lipstik dengan warna merah muda terlukis tipis di bibir. Tak lupa kelopak mata diberi warna coklat agar terlihat memikat. Terakhir, maskara bewarna hitam disisirkan agar bulu matanya terlihat lebih tebal.
Ya, ini kegiatan rutinnya sebagai wanita yang dimulai saat tahun keduanya bekerja. Bukan, merias wajah dengan peralatan make up itu bukan pencerminan dirinya. Ini bermula dari rekan kerjanya yang terlalu mencampuri penampilan ia sehingga atasannya menegurnya supaya ia bisa sedikit memoles wajah karena pekerjaannya menuntut ia akan dilihat banyak orang. Mau tidak mau ia harus mulai berdandan karena wajah alamiah tak cukup mampu merepresentasikan diri sebagai wanita dengan sempurna. Maka ia harus mampu berdandan agar terlihat cantik di mata dunia.
Dan, inilah hasilnya sekarang. Ia begitu terlatih untuk urusan yang satu ini. Sering ia berpikir mengapa harus wajah wanita yang mengenal bedak, alas bedak, perona pipi, lipstik, atau maskara. Apakah semua alat itu dijual dengan alasan karena wanita semakin tidak percaya pada wajah alamiahnya? Atau bisa jadi para pelaku ekonomi begitu cerdas membuat alat-alat itu karena mereka tahu bahwa wanita itu tidak lepas kaitannya dengan keindahan. Sampai pada tahap, masyarakat sudah memersepsi bahwa bicara tentang wanita berarti bicara tentang rupa. Itulah dunia yang begitu mampu mengendalikan manusia. Dan, ia harus terkendalikan keadaan juga demi mendapat tempat di lingkungannya. Ya, begitulah dia yang akan selalu menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakannya sendiri.
Kaos warna magenta telah melekat indah di tubuhnya. Rambut hitamnya tercepol rapi dengan poni yang ia tarik menggunakan bando hingga membuat keningnya terlihat menonjol. Ia siap melangkah melihat dunia. Cerahnya mentari di balik atap tetangga menyambut cerahnya wajah yang sudah tertata sempurna tanpa noda. Berkali-kali ia hirup dalam udara pagi yang belum ternoda sekadar ingin menyegarkan paru-parunya sebelum ia akan menutup hidung dan menahan napas saat sudah berada di pinggir jalan raya.
Ia stop angkutan umum yang hampir tiap hari dinaikinya. Sering temannya menasehati untuk membeli kendaraan sendiri dengan alasan bisa lebih irit dan tidak perlu lama untuk cepat sampai. Sayangnya ia tak pernah menggubris hal itu karena sama dengan kesendiriannya, naik angkutan umum adalah pilihan. Ia lebih nyaman duduk bersama dengan manusia lain yang tidak saling kenal. Di angkutan umum ia bisa temui manusia berbagai rupa dan sikap. Walaupun berbeda, ia merasa menjadi bagian dengan orang-orang itu karena mereka punya tujuan yang sama. Di saat kau tidak tahu jalan, ada mereka yang bisa membantu. Di saat kau naik, mereka akan menggeserkan diri dan menyediakan tempat duduk bagimu. Dan, secara tidak langsung mereka terkoneksi denganmu selama perjalanan. Malah bisa jadi kau akan bertemu dengan orang yang sama berkali-kali di angkutan umum itu, sampai akhirnya kau merasa dunia memang kecil sama kecilnya dengan angkutan umum itu. Hal-hal kecil seperti itu tidak akan bisa ia temui kalau ia punya kendaraan sendiri.
Ia suka merepresentasikan orang-orang yang ia temui di angkutan umum. Seperti saat ini. Ia tertarik melihat seorang gadis muda duduk di bagian paling belakang. Rambut gadis itu pirang buatan dengan poni seluruhnya menutupi kening. Riasannya terlalu tebal melebihi ukuran umurnya. Wajahnya simetris dengan bola mata yang besar. Softlense membuat matanya berbinar seperti mata kucing. Penampilannya membuat orang-orang mungkin akan mengidentikkanya sebagai gadis yang mudah diajak berkencan. Jauh menatap matanya, kau akan temukan sebuah rasa kecewa yang ia simpan dalam, seolah penuh beban. Entahlah, melihat gadis itu tiba-tiba ia menjadi merasa terkoneksi.

Sunday, October 31, 2010

Newnovel

Bagian 1

Ia duduk di sudut meja dengan pandangan lurus menatap jalan lewat kaca jendela. Mata yang menatap itu berkaca. Sayangnya kaca di matanya tidak kokoh seperti kaca di hadapannya, tetapi beriak seperti hendak retak. Sepasang manusia masuk lewat pintu berkaca yang ia tatap dan duduk tepat di samping mejanya. Ah, matanya yang berkaca kini benar-benar telah retak dan memunculkan sebulir air. Ya, hanya sebulir. Sama sepertinya yang kini hanya sendiri. Sendiri. Dulu kata itu adalah pilihan. Dulu, dulu itu tepatnya saat ia masih menuntut ilmu. Sendiri waktu itu mungkin sebuah pilihan yang lahir dari trauma. Baginya, mereka tak ubahnya seperti seonggok daging yang tak punya rasa.
Sepintas ia lihat pria si wanita itu. Sepintas ia lihat wanita si pria itu. Mereka saling tersenyum. Bukan, bukan tersenyum pada ia yang duduk sendiri. Mereka saling tersenyum, senyum yang dilakukan wanita untuk pria dan pria untuk wanita. Dan, ia tersenyum sambil menghembuskan napas menghela melihat senyuman mereka. Pikirannya mulai mengelana. Pria itu mengingatkannya pada mereka yang pernah singgah di hidup ia. Satu, dua, tiga, empat, lima, seterusnya. Semua sama tanpa rasa. Tak pernah ia temukan senyuman mereka sama seperti pria itu kepada wanitanya. Senyuman mereka hanyalah senyuman seperti seekor tikus yang rakus napsu.
Kali ini ia tahan air beriak di matanya agar tak lagi retak. Bukan saatnya ia terlihat lemah di tempat ini. Ah, makanan yang tidak ditunggu akhirnya datang juga. Ya, ia memesan makan malam di tempat ini, sekadar ingin merasai sendirinya. Dulu, tabu baginya makan sendiri di tempat umum. Makan sendiri di tempat umum baginya seperti manusia kesepian yang tak punya teman untuk sekadar berbagi cerita di tempat makan. Menurutnya, orang-orang akan menganggap wanita yang makan sendiri adalah manusia antisosial yang tak laku di pasar kepribadian dan diri. Dan, pikiran itu sungguh melecehkannya.
Namun, saat ini ia beranikan duduk sendiri di tempat makan. Ia beranikan melawan pikiran yang melecehkannya. Gampang baginya jika ingin duduk bersama dengan seorang pria di tempat ini. Hanya tinggal menekan tombol ponsel dan mencari nama yang ingin diajak, masalah telah selesai. Tapi, bukan itu yang ia mau. Rasanya percuma jika nama yang ingin diajak itu duduk sambil tersenyum palsu padanya. Rasanya percuma jika nama yang ia cari di ponselnya duduk di hadapannya sambil bercerita kisah fiktif tentang ia dan dia. Ia ingin orang yang duduk di hadapannya tersenyum sama seperti pria di samping mejanya itu yang tersenyum dengan wanitanya. Ia ingin berbagi cerita tentang rasa. Ya, ia ingin rasa.
Mengingat rasa membuatnya semakin tenggelam dalam ingatan. Sambil memutar-mutar kwetiau pada sebuah garpu sebagai menu makannya malam ini, ia ingat tentang rasa. Ia tersadar ia tidak punya rasa. Mungkin, hampir akan kehilangan rasa. Mereka yang pernah singgah sebagai tikus yang rakus napsu tidak ada yang melahirkannya rasa. Oh tidak, ada beberapa tikus yang rakus napsu yang pernah memunculkannya rasa. Tapi sayang, ia telah salah memberi rasa. Rasa terbuang dengan sia-sia dan ia kecewa. Pada masa ia kecewa, hampir di setiap helaan napas panjangnya ia inginkan rasa lagi, yang baru, yang ia pikir akan lain, yang ia pikir akan berhasil, tapi tetap saja ia kecewa.
Sampai pada akhirnya, ia putuskan untuk mematikan rasa. Ini pilihannya. Ia memilih ini karena ia lelah berharap pada rasa. Semangat juangnya untuk rasa habis tak tersisa. Jika kelak ia bertemu lagi dengan dia yang entah siapa, ia hanya perlu memilih dengan logika, bukan rasa. Karena, ia begitu tidak mengerti dengan rasa.
***

Thursday, August 12, 2010

Dia, Boneka, dan Kasurnya

Kasur : Aku muak!
Boneka : Kau pikir aku tidak muak!
Kasur : Kalau kau pun muak, ya katakanlah padanya.
Boneka : Kalau dia mengerti bahasaku, sudah kukatakan itu dari dua tahun lalu.
Kasur : Kalau dia tak mengerti bahasamu, lantas mengapa hampir tiap malam kau dengannya bercakap?
Boneka : O-o-oo, kami tidak bercakap, Teman. Lebih tepatnya dia yang selalu bercerita padaku.
Kasur : Ya ya ya, walaupun kalian tak bisa saling berkata, setidaknya kau mengerti rasa.
Boneka : Ya, ya, aku terlampau mengerti rasa hatinya. Malah beberapa rasa hati temannya yang pernah dikenalkannya padaku.
Kasur : Ah, sayangnya aku hanya mengenal bokongnya saja!
Boneka : Hahaha, sungguh malangnya nasibmu.
Kasur : Aku tidak butuh tertawamu. Ayo, kita cari solusi untuknya. Aku kasihan padanya kalau dia sudah mulai meneteskan airmata. Sering airmatanya membasahiku.
Boneka : Bagaimana memang rasa airmatanya, Teman?
Kasur : Airmata itu begitu berasa kepedihan, sakit hati, penyesalan, dan kekecewaan. Airmata itulah yang bercerita banyak padaku tentangnya.
Boneka : Apa saja yang diceritakan airmata padamu?
Kasur : Sering sebelum airmata itu kering di tubuhku, ia menggerutu sendiri.Katanya, “Dia itu perempuan bodoh, begitu relanya mengeluarkanku dengan percuma hanya karena lelaki buruk hati”. Atau, “Aku tidak mengerti jalan pikirannya, sudah tahu sebuah kesalahan, tapi ia tetap melakukannya. Aku kasihan padanya”. Airmata mengatakan itu sambil menangis. Sungguh membuatku terharu. Ngomong-ngomong, kalau denganmu, apa saja yang diceritakannya?
Boneka : Ya sama seperti kata airmata. Ia selalu bercerita tentang lelaki yang selalu singgah di sini. Tapi akhirnya, Cuma tiga yang bisa aku simpulkan. Lelaki pertama menjadi kenangan. Lelaki kedua, dia jadikan pelajaran dari sebuah bentuk kesalahan. Lelaki ketiga, keempat, dan seterusnya adalah pilihan. Dia memilih untuk terus melakukan pilihan. Lantas apa yang bisa aku buat? Walaupun aku bisa menasehatinya tentang hal-hal penting, tapi aku tak bisa menentukan pilihannya.
Kasur : Kau benar.
Boneka : Kau tahu tidak hal bodoh apa yang tidak bisa diubahnya?
Kasur : Ehm, apa?
Boneka : Dia orang yang tak kuasa untuk menolak. Untuk urusan itu, dia terlalu lemah. Hanya karena bermodal rasa percaya bahwa suatu saat lelaki-lelaki itu akan berubah, dia terus memulai dengan cara salah. Lalu apa yang dia dapat? Hanya kegembiraan sesaat lalu setelah itu lenyap.
Kasur : Ya, kegembiraan sesaat. Ah, tapi pernah beberapa kali kupergoki ia setelah gembira malah mengeluarkan airmata.
Boneka : Ya, aku pun melihatnya saat itu, pertama kali, kira-kira dua tahun lalu saat ia bertemu dengan Si Orang Pertama. Ketika untuk pertama kali ia selesai mengerti rasa, ia menangis di sampingnya. Waktu itu dia cerita perasaannya sedang campur aduk—antara rasa lega karena telah tahu rasa, kecewa karena ia telah mencoba, dan takut akan dosa. Hemph, tapi untungnya ia masih bisa berlogika. Ia masih menurut kata ibunya untuk tetap menjaga hal penting menurut takaran dunia.
Kasur : Benar, untunglah. Oh ya, tapi dia masih percaya kan dengan cinta?
Boneka : Heh, kurasa tidak lagi, Teman. Lelaki telah mengaburkan persepsi cinta padanya. Dari awal sebelum ia mengenal yang pertama, ia tidak mengerti cinta. Ah, tepatnya belum pernah merasa cinta. Namun, ketika orang pertama datang, ia mulai belajar. Sayangnya, ia telah salah orang. Lalu muncul lagi cinta pada orang yang kesekian. Padahal diawali dengan biasa saja, tapi lama-kelamaan ia jatuh cinta. Tapi sayang, ternyata sama saja. Sampai akhirnya muncul orang-orang baru lagi yang hanya datang karena naluri yang dirasanya semakin tidak punya cinta.
Kasur : Dan, akhirnya ia kehilangan cinta?
Boneka : Ya, ia telah mati rasa untuk cinta. Ia semakin pesimis untuk menemukan cinta.
Kasur : Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta!
Boneka : Dia pun sudah kehilangan kegairahan untuk mencoba yang baru lagi. Hanya tinggal menikmati mereka yang masih tersisa, tanpa memakai rasa. Ya, hanya sebatas memenuhi naluri saja.
Kasur : Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta!
Boneka : Padahal dua tahun lalu ia berujar dalam hati ingin mulai mencoba membuka diri untuk pertama kali, tapi hingga kini ia malah semakin kehilangan rasa bernama cinta.
Kasur : Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta! Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta! Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta!
Boneka : Hus-hus, dengar, dia telah kembali. Lihat, ia bawa teman.
Kasur : Ah benar saja. Kali ini, siap-siap tubuhku beraroma garam lagi.

Cisitu, 8 – 8 – 10
01.10 am

Sunday, July 18, 2010

Kecewa. . .

Entah beberapa hari lalu, sengaja saya lupakan karena saya tidak ingin mengenang hari itu, kembali saya menangis di balik selimut. Saya menangis karena saya kecewa. Saya kecewa karena pemberian saya ditolak. Pemberian saya ditolak karena saya pikir mungkin ia merasa saya punya maksud lain. Dan, jika demikian, sungguh ia telah keliru.

Pemberian kecil itu berupa tulisan di sebuah games online Farmtown yang kerap saya mainkan di situs jejaring sosial, Facebook. Tulisan yang hanya terdiri atas empat kata itu saya kerjakan hampir seminggu. Banyak kendala dalam proses pengerjaannya, dimulai dari komposisi warna tulisan yang terlihat tidak kontras ketika beberapa hari proses penanaman bibit tumbuhan; ukuran tulisan yang tidak merata sama; ataupun huruf yang dibentuk tidak begitu terbaca ketika tanaman itu sudah tumbuh. Proses yang menyita waktu saya dalam pembuatan empat kata itu sama sekali ia tidak tahu. Sama halnya dengan maksud pembuatan empat kata itu, mungkin ia pun tidak tahu.

Empat kata itu muncul dibenak saya ketika kepulangan saya dari tempatnya pada suatu hari. Belum lama saya mengenalnya, masih jauh dari kata genap setahun. Saya menganggapnya sama dengan teman-teman saya yang berjenis kelamin laki-laki. Makin lama mengenalnya cukup membuat saya tahu bagaimana karakternya lewat respon-respon yang ia berikan, lewat pengalaman masa lalunya, lewat kebiasaannya, dan lewat perkataannya. Lalu, anggapan saya sedikit berubah.

Sebelumnya, tidak pernah bagi saya mendoakan seseorang yang bukan keluarga hampir setiap hari di doa-doa saya. Jarang pula saya memiliki sebuah hati yang begitu mudah tersentuh kepada seseorang. Malah mustahil rasanya jika saya bisa menangis ketika mendoakan orang lain yang bukan keluarga saya. Tetapi, ketidakpernahan itu tidak berlaku untuknya. Saya pun hampir dibuat bingung ketika kerap saat saya mendoakannya, hati saya bisa begitu tersentuh hebat, entah kekuatan apa yang menggerakkannya hingga menangis menjadi tidak tertahankan.

Saya hanya bisa meyakini bahwa mungkin itu sebuah bentuk kasih yang Allah curahkan buat saya agar saya bisa menyampaikan kasih itu kepadanya. Ya, saya pikir mungkin karena kami sama-sama anak-Nya. Dan, kasih itu saya realisasikan dengan mengirimkan empat kata yang menguatkannya untuk terus berjuang demi hidupnya sendiri. Saya ingin ia berjuang karena saya melihat ia kehilangan alasan untuk tetap mempertahankan hidupnya. Dan, saya sungguh merasa sedih. Sungguh tidak tega melihatnya menahan sakit tubuh yang katanya ia derita sedari kecil, juga melihatnya kecewa terhadap hidup dan kehidupan.

Mulai saat yang tidak terdeskripsikan dengan pasti saya telah memosisikannya sama seperti kakak dan adik-adik saya. Kembali saya katakan, saat itu. Baik saya pertegas, SAAT ITU, ya saat ketika saya masih memosisikannya sama seperti saudara kandung saya. Mengapa saat itu? Ya jawabannya karena tidak untuk saat ini. Tidak lagi! Sikapnya terlalu membuat saya kecewa. Sikap yang hanya sekadar me-remove tag gambar berupa empat kata terlalu membuat saya kecewa.
Logika sederhana saya tidak mampu menjawab mengapa ia me-remove tag gambar berupa empat kata itu. Pikiran buruk saya hanya menjawab bahwa mungkin ia terlalu tinggi hati menerima bantuan dari saya. Atau bisa jadi, ia terlalu merasa rendah diri di hadapan saya. Apa pun alasannya, perbuatannya telah membuat saya begitu kecewa. Kekecewaan saya sampai pada sikap saya yang tidak ingin mau tahu lagi tentang hidupnya.

Ya, saya akui sikap saya ini terlalu impulsif. Kekecewaan membuat saya tidak dapat berpikir dengan jernih. Ya sudahlah, anggap saja saya telah keliru sudah menganggapnya sebagai saudara karena ternyata ia tidak menganggap demikian juga.

Sunday, May 30, 2010

Mengenang Rasa yang Pernah Ada

Sekotak martabak. Banyak bicara. Kerupuk Palembang. Nonton film teve. Nonton film di komputer. Makanan ringan. Ngobrol. Terkadang memakai topeng. Terbuka. Es krim. Menunggu. Menunggu sebentar. Menunggu lama. Menunggu sampai bosan. Menunggu sampai ketiduran. Tengah malam. Subuh. Naruto. Kekanak-kanakan. Polos. Berdua. Bercanda. Karpet puzzel. Berkirim pesan. Alasan basi. Diam-diam. Mengaku sepupu. Revo. Bernyanyi. Sibuk. Manis. Nomor telepon ibu. Membelai. Pertama. Begini rasanya. Kesal. Air mata. Material. Pengakuan. Hanya mainan. Kecewa. Dalam hati.

Film horor. Bertiga. Mencari identitas. Putri. Biasa. Hilang. Bertemu lagi. Meminta nomor. Alasan. Mall. Bercanda. Meteorologi. Pengukur angin. Kampus. Es buah. Angkot. Meminta. Menolak. Hujan-hujanan. Membelai. Merah. Kiriman makanan. ayat-ayat cinta. Diam-diam. Tidak enak hati. Bola. Memeriksa ulangan. Membacakan nilai. Malu-malu. Masih keras hati. Sayang telah menolak. Ingin mengulang kembali. Tengah malam. Lolongan anjing. Siaran langsung adegan. Iseng. Lama. Sepi.Tiba-tiba. Halus. Kamar mandi. Ngobrol. Sedikit terbuka. Pengakuan. Biasa saja.

Bercanda. Malam. Berboncengan. Bukit bintang. Salah orang. Melihat alat kerja mesin. Bercanda. Saling menghina. Pasti ngobrol. Bebek goreng. Hitam. Bertiga. Edan. Tidak tahu malu. Terpikir ada hati. Sedikit. Bersenang-senang. Ternyata. Sebegitunya demi. Mall. Nonton. Ikat rambut panjang. Salah kostum. Tertawa hahaha. Berkesan. Berkirim pesan. Laptop. Pagi. Siang. Malam. Susu kotak. Melayani. Salah mengira. Ternyata. Menghina diri. Tertawa hahaha. Online. Kamuflase. Nasehat. Bosan. Hilang. Telepon. Tengah malam. Menangis di hadapan. Merasa bodoh. Sikap aneh. Jahat. Mencium tangan. Tertelan. Arghhh. Asap rokok. Berisik. Makanan ringan. Kamar orang. Baru tahu. Jadi beda. Padahal suka. Menjauh. Hilang. Kembali. Ternyata hanya itu. Hilang lagi. Kecewa. Sakit hati. Berbekas sekali. Tidak ada tertawa hahaha lagi. Dalam hati.

Kanak-kanak. Polos, tapi ternyata. Teknik lingkungan. Naruto. Suka menganga. Hahaha. Manis. Berkesan. Mahir sampai bosan. Merasa adik. Sama seperti. Tengah malam. Mungil. Komik. Lucu. Belajar. Saling menghina. Tanpa rasa. Ternyata. Ambisi gila. Sendiri. Merasa ingin seperti seorang yang diceritakannya. Motor. Subuh. Tidak tahu malu. Bulu. Hahaha. Ada maunya saja. Ya sudahlah. Lagipula tanpa hati.

Banyak bicara. Besar. Suka jika mendongengkan cerita. Melankolis. Gemar. Mungil. Aroma garam. Nonton. Suka memerhati. Pintar bicara. Cerita. Imajinasi. Tertawa hahaha. Kalem. Mudah. Rumah. Ternyata. Tertipu. Kasihan. Biasa saja. Banyak pengalaman. Tidak malu. Susah untuk terbuka. Berboncengan. Lama. Diet. Mahir. Senang. Merasa ada. Suka jika. Suka berlama-lama. Tapi biasa saja. Ya sudahlah. Bukan kriteria. Sekadar suka. Kadang menginginkannya ada. Terapi. Industri. Bersendawa. Hahaha. Kucing. Oh begitu. Manis. Bercerita. Bercerita runtut. Bercerita. Tidak habis kata. Bukan saya. Pengakuan. Berjarak. Kembali lagi. Suka sekali jika. Dia tahu cara. Menangis. Cemburu terhadap tokoh di ceritanya. Merasa kapan bisa. Merasa dijahati. Ada maunya saja. Ya sudahlah. Jalan kaki demi. Biasa saja. Tapi sakit hati.

Berdua. Berakhir pekan. Tertawa hahaha. Manis. Bernyanyi. Rutinitas baru. Bertelepon. Berkirim pesan. Menolong. Email. Memakai topeng. Ternyata. Ayam goreng. Es krim. Dilayani. Sakit. Bercanda. Makan dalam satu piring. Saling berebut. Saling ribut. Ngobrol lagi. Tertawa lagi. Malu-malu.. Musik keras. Nyaman jika. Suka sekali di sana. Banyak bicara. Tanpa kata. Tapi mengerti rasa. Suka menghina. Hahaha. Keras tapi melankolis. Kekurangan. Pertama berdoa. Dengan hati. Meminta agar Tuhan. Menghabiskan waktu. Ulang tahun. Ternyata. Hadiah terindah. Lagu berkesan. Disuruh dengar. Ternyata. Diingat. Sengaja menghilang. Dicari. Ketemu lagi. Berjarak. Selalu begitu. Memasukkan nilai. Tembak-tembakan. Gitar. Pengakuan. Memeluk erat. Iseng. Lucu jika. Gengsi tinggi. Sayang. Berbeda dari yang lain. Metal. Berdoa. Kasih murni. Tapi bukan untuk memiliki. Cemburu. Aneh. Online. Kamuflase. Kesal. Menjauh. Menangis. Dalam hati.

Mengenal anatomi. Besar. Mungil. Imajinasi hahaha. Bukit bintang. Memandang sekitar. Suka bercerita. Banyak bicara. Dokter. Tentang tubuh. Makan malam. Parkir mobil. Terbuka. Tanpa rasa. Tidak serius ternyata. Ya sudahlah. Main-main saja.

Mirip kakak. Tinggi. Baik. Pemula. Sensitif. Konvensional. Teknik. Banyak bicara. Tidur. Tertawa. Bicara ambisi. Tertarik. Berharap jika. Ideal. Ternyata. Kecil hati. Hujan-hujanan. Narsis. Hahaha. Hati-hati. Lucu. Baru pertama. Ternyata ada. Takut sekali. Menangis karena tokoh ceritanya. Cemburu. Ingin seperti itu. Mudah-mudahan. Dalam hati.

Lagi. Dokter gigi. Pengangguran. Penyiar. Kuliah. Entahlah. Batak. Sunda. Jawa. Cina. Entahlah. Semua sama. Sebentar. Menghilang. Tanpa rasa. Sekali. Sudah. Tidak lagi. Tapi semua sama. Semua sama saja. Semua kini mati. Mati. Ya, mati!!

Sunday, April 25, 2010

Ironis

“Apakah kalian tahu apa itu patriaki?” Si pembicara sejenak berhenti setelah bertanya. Ia menunggu respon dari pertanyaannya. Semua hadirin diam. Diamnya hadirin bisa jadi karena dua hal. Pertama, kondisi hadirin yang mungkin sudah tidak nyaman dengan panas ruangan tanpa ventilasi, hanya ada kipas yang berputar lambat jauh di atas kepala. Terlebih acara seminar ini baru satu jam dimulai setelah mereka mendengarkan monolog-puisi yang kemungkinan besar tidak dimengerti. Ya, sekadar dinikmati. Alasan kedua, memang hadirin tidak tahu apa itu patriaki.
Hadirin yang hadir pada acara Parade Suara Perempuan sebagian besar adalah perwakilan siswa SMP dan SMA se-Bandung yang didampingi oleh guru mereka masing-masing. Mereka hadir di sana karena undangan. Yang saya pahami dari undangan itu siswa akan mendapatkan bagaimana cara menulis kreatif fiksi yang baik, yakni fiksi yang mencuatkan kehidupan sebagai refleksi. Tapi yang saya cermati, siswa yang saya pilih untuk ikut seminar ini merasa hanya disuguhi esensi membuat fiksi hanya kurang dari lima menit saja. Dan, tiga jam berikutnya mereka disunguhi monolog-puisi dan seminar biasa.
Saya katakan biasa karena seminar ini telah biasa saya dengar dulu ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Kata-kata pembicara tentang feminisme, gender, hegemoni, patriaki, eksistensialisme, sampai emansipasinya Kartini, sudah pernah saya lumat habis dari koleksi buku-buku saya. Dan, mendengar pembicara membahas masalah itu bagi saya sama seperti membaca ulang buku-buku tersebut. Akhirnya, saya mengikuti seminar itu dengan sikap sedikit menyepelekannya karena telah sok merasa tahu inti yang dikemukakan pembicara.
Lalu saya hanya mengamati gaya si pembicara. Ia adalah dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra di Universitas Pendidikan di Bandung ini. Sesekali ia memperbaiki rambut yang keluar dari kerudungnya. Ia berdiri sambil menatap power point yang terpampang jauh di kanannya. Wajahnya agak sedikit pucat, mungkin kelelahan.
Awalnya, ia sajikan data sebagai bahan analisisnya. Data diambil dari buku-buku Sekolah Dasar yang memperlihatkan bahwa perempuan selalu dipersepsikan sebagai pelaku domestik, dan lelaki dipersepsikan sebagai pelaku publik. Setiap satu data disajikan, pembicara akan bertanya pada hadirin apa maksud data itu.
Dilanjutkan menyajikan data dari koran. “Empat Gadis ABG Gagal Didagangkan ke Batam”, “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, sampai pada judul “Wanita Racun Dunia”. Ketika disajikan judul “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, anak-anak SMA yang duduk di belakang kami begitu menggebu sambil berdiri menyatakan ketidaksukaannya karena dari judul itu perempuan dikategorikan negatif. Tapi, adalah ironis saat saya lihat gaya siswi SMA yang berbicara itu tengah memperlihatkan sikap seksi, centil, dan penggodanya. Saya katakan seksi karena ia mengenakan seragam ketat dan saat berdiri menunjuk-nunjuk diri terlihat pusarnya ingin eksis juga. Sikap tubuh yang cekakak-cekikik mengartikan kecentilan mereka dan itu mampu menggoda lelaki di sana. Ya saya pikir wajar saja jika ada yang mengatakan “Wanita Racun Dunia”.
Sampailah pada akhir seminar. Tiga atau empat penonton diminta untuk memberikan kesannya ke depan. Kesan diakhiri dari seorang bapak berkumis.
“Ya, yang saya bisa tangkap dari seminar ini, kiranya wanita tidak malas untuk ke dapur.” Berhenti sejenak. Saya lihat air muka pembicara berubah. Dan, saya pun ikut terhenyak lalu tertawa hebat dalam hati.
“Tapi, laki-laki pun jangan malas untuk ke dapur.” Si bapak berkumis melanjutkan perkataannya. Pembicara terlihat sedikit lega karena ternyata setengah jam ia bicara tidak percuma.
Saya jadi bertanya, apa siswa-siswa yang tiga jam di ruangan tadi mengerti apa yang telah dipaparkan pembicara? Saya pesimis karena lingkungan tempat tinggal mereka belum tentu mendukung semangat penyetaraan gender yang digaungkan si pembicara tersebut.
Setidaknya, kesetiaan kami menyaksikan acara tanggal 24 April lalu itu pun tidak sia-sia karena satu anak saya beruntung mendapatkan sebuah buku bagus yang mampu mencerahkannya.

Friday, April 23, 2010

Kami Bukan Sekadar Tubuh

Dua hari yang lalu saya berbincang dengan kakak saya yang berjenis kelamin laki-laki. Dia kakak saya karena kami ditakdirkan dari satu rahim ibu yang sama. Tapi saya rasa, dia bukan kakak saya karena saya tidak tahu siapa dia. Mungkin ini akibat terlalu lama kami terpisah jarak—bukan jarak hidup memang, melainkan jarak tempat. Ya, itu rasa saya.
Ternyata jarak tempat sembilan tahun membuat saya semakin tidak mengenal dia. Salah satunya dari pembicaraan kami dua hari yang lalu, yakni tepat saat Indonesia memperingati hari Kartini. Ketika itu, setelah terlupakan kapan terakhir kami berbincang, kami berbincang lagi. Itupun tidak sengaja kami dipertemukan oleh media bernama facebook. Kukatakan sekali lagi, kami tidak sengaja mempertemukan diri untuk berbincang. Ini karena kami telah sibuk mengurusi dunia kami masing-masing.
Tetapi, dua hari lalu itu saya sedikit mengurusi dunianya. Tidak lebih karena saya ingin dia mendapatkan seseorang untuk teman hidupnya. Dan, saya pikir wanita ini ideal dengannya. Ya, ini mungkin keinginan kecil dari seorang yang sedang memosisikan diri sebagai adik. Saya kenalkan dia pada seorang sahabat saya agar dia mau mengenalnya lebih baik. Tetapi, responnya mengejutkan saya.
“Bekas.” Satu kata itu membuat saya terintimidasi, padahal saya tahu itu bukan ditujukan pada saya. Tapi, saya sebagai wanita telah terintimidasi. Lalu, dari sana saya mulai berpikir dengan nalar sederhana saya.
Bekas. Menurut saya ini bermakna satu hal atau benda yang tersisa atau yang telah terpakai; satu hal atau benda yang tidak baru lagi; second—tangan kedua; yang bisa jadi tidak lebih baik dari hal atau benda yang baru (belum tersentuh sama sekali). Dan, kata “bekas” itu sungguh berbekas di hati saya.
Saya jadikan responnya itu sebagai representasi dari respon lelaki. Ternyata, lelaki masih ada yang mempermasalahkan “kebekasan” seorang wanita—apakah wanita itu pernah berpacaran dengan lelaki lain atau tidak; atau mempermasalahkan bagaimana gaya berpacaran si wanita. Saya akui, dia berespon seperti itu pada sahabat saya (padahal kenal pun belum sama sekali) karena di persepsinya sahabat saya ini gaya berhubungannya dengan kekasihnya dulu sama seperti gaya berhubungan lelaki-wanita masa kini. Jika begini yang saya pahami, saya pikir kakak saya tidak ingin rugi karena dia menganggap diri masih “baru”, sayang apabila dapat pasangan yang “bekas”. Ya, mungkin dia ingin mencari kesepadanan.
Yang saya sesalkan, ini terlontar dari kakak saya. Responnya menyiratkan seseorang yang belum bisa mencinta secara dewasa. Nanti, jika kelak saya bertemu dengan lelaki, saya akan coba paparkan “kebekasan” saya. Jika dia tidak bisa menerima, itu artinya dia masih mencinta dengan pamrihnya, bukan mencinta saya dengan alasan memang dia menerima saya tanpa butuh alasan.
Ironisnya, kami berbincang tepat di hari Kartini, yang katanya ia seorang yang begitu menggebu melontarkan semangat emansipasi. Tapi saya pikir, dari kejadian ini, eksistensi kami masih seperti dikebiri tepat di hari Kartini. Kami masih dipersalahkan dalam urusan tubuh kami—apakah masih “baru” atau dikotominya. Jika masih demikian persepsi lelaki, lalu diletakkan di mana urusan hati? Hai lelaki, coba pikirkan ini!