Sunday, July 18, 2010

Kecewa. . .

Entah beberapa hari lalu, sengaja saya lupakan karena saya tidak ingin mengenang hari itu, kembali saya menangis di balik selimut. Saya menangis karena saya kecewa. Saya kecewa karena pemberian saya ditolak. Pemberian saya ditolak karena saya pikir mungkin ia merasa saya punya maksud lain. Dan, jika demikian, sungguh ia telah keliru.

Pemberian kecil itu berupa tulisan di sebuah games online Farmtown yang kerap saya mainkan di situs jejaring sosial, Facebook. Tulisan yang hanya terdiri atas empat kata itu saya kerjakan hampir seminggu. Banyak kendala dalam proses pengerjaannya, dimulai dari komposisi warna tulisan yang terlihat tidak kontras ketika beberapa hari proses penanaman bibit tumbuhan; ukuran tulisan yang tidak merata sama; ataupun huruf yang dibentuk tidak begitu terbaca ketika tanaman itu sudah tumbuh. Proses yang menyita waktu saya dalam pembuatan empat kata itu sama sekali ia tidak tahu. Sama halnya dengan maksud pembuatan empat kata itu, mungkin ia pun tidak tahu.

Empat kata itu muncul dibenak saya ketika kepulangan saya dari tempatnya pada suatu hari. Belum lama saya mengenalnya, masih jauh dari kata genap setahun. Saya menganggapnya sama dengan teman-teman saya yang berjenis kelamin laki-laki. Makin lama mengenalnya cukup membuat saya tahu bagaimana karakternya lewat respon-respon yang ia berikan, lewat pengalaman masa lalunya, lewat kebiasaannya, dan lewat perkataannya. Lalu, anggapan saya sedikit berubah.

Sebelumnya, tidak pernah bagi saya mendoakan seseorang yang bukan keluarga hampir setiap hari di doa-doa saya. Jarang pula saya memiliki sebuah hati yang begitu mudah tersentuh kepada seseorang. Malah mustahil rasanya jika saya bisa menangis ketika mendoakan orang lain yang bukan keluarga saya. Tetapi, ketidakpernahan itu tidak berlaku untuknya. Saya pun hampir dibuat bingung ketika kerap saat saya mendoakannya, hati saya bisa begitu tersentuh hebat, entah kekuatan apa yang menggerakkannya hingga menangis menjadi tidak tertahankan.

Saya hanya bisa meyakini bahwa mungkin itu sebuah bentuk kasih yang Allah curahkan buat saya agar saya bisa menyampaikan kasih itu kepadanya. Ya, saya pikir mungkin karena kami sama-sama anak-Nya. Dan, kasih itu saya realisasikan dengan mengirimkan empat kata yang menguatkannya untuk terus berjuang demi hidupnya sendiri. Saya ingin ia berjuang karena saya melihat ia kehilangan alasan untuk tetap mempertahankan hidupnya. Dan, saya sungguh merasa sedih. Sungguh tidak tega melihatnya menahan sakit tubuh yang katanya ia derita sedari kecil, juga melihatnya kecewa terhadap hidup dan kehidupan.

Mulai saat yang tidak terdeskripsikan dengan pasti saya telah memosisikannya sama seperti kakak dan adik-adik saya. Kembali saya katakan, saat itu. Baik saya pertegas, SAAT ITU, ya saat ketika saya masih memosisikannya sama seperti saudara kandung saya. Mengapa saat itu? Ya jawabannya karena tidak untuk saat ini. Tidak lagi! Sikapnya terlalu membuat saya kecewa. Sikap yang hanya sekadar me-remove tag gambar berupa empat kata terlalu membuat saya kecewa.
Logika sederhana saya tidak mampu menjawab mengapa ia me-remove tag gambar berupa empat kata itu. Pikiran buruk saya hanya menjawab bahwa mungkin ia terlalu tinggi hati menerima bantuan dari saya. Atau bisa jadi, ia terlalu merasa rendah diri di hadapan saya. Apa pun alasannya, perbuatannya telah membuat saya begitu kecewa. Kekecewaan saya sampai pada sikap saya yang tidak ingin mau tahu lagi tentang hidupnya.

Ya, saya akui sikap saya ini terlalu impulsif. Kekecewaan membuat saya tidak dapat berpikir dengan jernih. Ya sudahlah, anggap saja saya telah keliru sudah menganggapnya sebagai saudara karena ternyata ia tidak menganggap demikian juga.

0 komentar:

Post a Comment