Friday, November 5, 2010

part 2

Klik. Dan, berhasil di-posting. Tepat pukul dua dini hari. Ia close halaman mozilla firefox yang terbuka dan mengklik simbol stop pada windows media player yang menyala. Ia tutup beranda yahoo messengers yang tak bergeming dari tadi. Dilanjutkan dengan mengklik kata shut down pada sudut bawah bagian kiri layar. Ia tutup layar monitor hingga menyatu dengan keyboard. Malam pun semakin larut.
Berbunyi mesin alarm di ponsel. Sudah sekitar sebelas tahun mesin itu membangunkan lelapnya. Mesin alarm itu bisa ia ganti dengan bunyi yang disukainya—lagu bersemangat milik penyanyi asing dengan beat menghentak ataupun sekadar bunyi tit-tit-tit saat ia tidak ingin bunyi kegaduhan menyambut paginya. Kadang, ia rindu mendengar suara ibunya yang teriak dari lantai bawah sebagai bunyi alarm saat ia harus bergegas bangun untuk sekolah. Suara alarm itu kerap berbeda nada setiap hari. Terkadang alarm itu akan bernada teriak yang netral, teriak yang kesal, atau kadang teriak yang menggempar. Kadang juga, ia rindu mendengar suara ayam yang berkokok sebagai alarm yang kerap membangunkannya ketika ia masih tinggal di kota kecil sekitar tujuh belas tahun lalu.
Kini kebiasaan itu tidak lagi ada. Alarm berbunyi suara ibu dan suara ayam tidak lagi membangunkan paginya. Kini alarm sudah diganti oleh sebuah mesin yang akan selalu berbunyi dengan nada dan intonasi yang sama persis. Seandainya saja ia mampu, ingin rasanya membuat sebuah mesin dengan program bunyi suara ibu atau suara ayam yang nada dan tekanannya akan selalu berbeda setiap kali berbunyi.
Sudah setahun ia tinggal di tempat ini setelah beberapa kali pindah, tentunya dengan alasan. Dan, sudah setahun pula ia tidak pernah mendengar suara kokok ayam atau kicauan burung menyambut paginya. Sekiranya sama saja dengan tempat tinggalnya sebelum ini. Bisa dimaklumi mengingat ayam sudah jarang ditemui pasca-flu burung yang mewabah beberapa tahun lalu. Bisa dimaklumi pula burung enggan terhimpit antara atap rumah yang saling berdekatan.
Suara tukang sayur, tukang susu murni, atau tukang sampahlah yang kerap menjadi alarm di daerah tempat tinggalnya. Beberapa kali ia tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara tukang susu begitu berat, dalam, dan diakhiri dengan teriakan di akhir pelafalan “susu”. Beberapa kali juga ia terganggu dengan suara tukang sayur yang begitu keras dan panjang melengkingkan bunyi /r/ pada pelafalan “sayur”. Ya, hanya beberapa kali pada awal ia tinggal di sini karena setelah itu ia sudah menyiapkan alarm dengan bunyi kesukaannya sebelum alarm suara tukang-tukang itu membangunkannya.
Pukul tujuh pagi. Hari ini ia bisa bangun dua jam lebih lama dari hari biasanya. Teve terus menyala dari malam sebagai peneman tidurnya. Ketakutannya akan keheningan malam yang membuat teve itu selalu menyala karena ia terlalu ngeri jika malamnya diganggu dengan suara-suara aneh tak terdeskripsi dari luar kamarnya. Terkadang, ia akan minta teman prianya untuk bermalam di sana jika ia sedang tidak ingin tidur sendiri. Hanya saja sering teman prianya menolong dengan pamrih, mengharapkan ia dapat memuaskan hasratnya sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan. Belakangan ia rindu merasakan hangat tubuh pria di sampingnya sebagai peneman tidur, yang akan mendekap tubuhnya, sambil mendengarkan bunyi detakan jantung sebagai musik pengantar tidur.
Sudah hampir dua bulan ia tidak merasakan hangatnya tubuh pria. Terakhir adalah pria hitam bertato salib di lengan kanan dan tubuh berisi yang kerap mendekapnya. Ia mengenalnya lewat situs jejaring sosial. Ia tak ingat awal perkenalannya kapan. Yang pasti setelah sekali berbincang di situs itu, pria hitam itu meminta nomor ponselnya. Ia sebagai wanita yang masih sendiri sama sekali tak menolak memberikan nomornya. Dilanjutkan dengan perbincangan lewat pesan singkat dan bertelepon.
Tak perlu waktu lama, pria itu lantas menginginkan sebuah hubungan lebih dari teman. Dan, tanpa pertimbangan ia mengiyakan. Janji bertemu. Ia agak kecewa setelah tahu pria itu hanya tamat sekolah menengah atas. Agak kecewa juga setelah pria itu bercerita tentang masa lalunya yang beringas. Hanya saja ia selalu meneguhkan diri dan mengatakan bahwa mencoba itu tidak salah.
Mungkin begini rasanya usia yang tidak lagi dikatakan sebagai gadis muda. Ia merasa umur dua puluh sembilan tahun pada wanita yang masih sendiri adalah usia yang tidak punya kesempatan lagi memilih. Baginya wanita itu berumur pendek. Jadi wajar kalau sekarang ia menerima dengan lapang dada pria yang mendekatinya, berharap ia akan segera menuntaskan masa sendirinya.
Ketika itu bulan Agustus. Pria hitam itu datang membawa janjinya bahwa ia bukan pria yang ingin main-main lagi. Ia ingin cari istri. Ia mengatakan dirinya sudah mapan. Katanya, ia sudah memiliki sebuah rumah di kota wisata yang semua orang pasti akan mengira rumah di daerah itu hanya dipunyai mereka yang berekonomi menengah ke atas. Begitu cara pria itu menjual diri. Sayang, ia begitu tidak nyaman mendengarnya. Bukan apa-apa. Ia merasa kalau pria yang sudah merasa mapan dalam hal ekonomi, pria itu akan dengan mudahnya mengendalikan wanita karena merasa punya kuasa. Ya, begitulah cara ia berpikir. Selalu memosisikan hal buruk sebagai prioritasnya agar ia bisa siap mental.
Pria hitam itu sering datang ke rumah kontrakan ia. Berbagi cerita. Terlebih sering berbagi rasa dalam keintiman tubuh. Sampai pada akhirnya ia bosan melakukannya dengan pria hitam itu. Ia merasa status hubungannya hanya sebuah kamuflase pria hitam itu yang haus akan napsu. Ia putuskan untuk mengakhiri hubungan itu tepat dua minggu mereka menjalin rasa. Ah bukan, lebih tepatnya menjalin kebohongan rasa. Ia utarakan alasannya. Dan, kau tahu apa yang pria itu katakan?
Pria itu malah mengajukan negoisasi. Pria itu mengatakan bahwa hasrat seksual harus terlampiaskan secara rutin. Itu kebutuhan. Harus dilakukan dengan rutinitas. Kalau kamu menolak tiap hari untuk melakukan rutinitas itu, lantas maumu berapa kali kita harus melakukannya? Tanya pria hitam itu pada ia.
Ia terhenyak. Apakah hubungan rasa harus dibumbui dengan aktivitas itu? Ia lelah. Ia lelah jika harus melakukannya dengan keterpaksaan, apalagi menjadikannya rutinitas. Sungguh ketika pria hitam itu meminta negoisasi, tertutup asa untuk menjalin hubungan dengannya.
Bagaimana kalau seminggu tiga kali? Atau seminggu sekali juga tidak masalah. Aku tidak mau munafik. Aku butuh itu. Kata pria hitam itu lagi. Maaf, sebuah hubungan bagiku bukan soal angka, tapi rasa. Bukan soal rutinitas aktivitas, tapi kualitas sikap. Cari saja wanita lain yang mampu memuaskan napsumu. Selamat tinggal. Jawab ia menutup pembicaraan mereka.
Pacaran. Susah baginya memaknai kata itu. Pacaran baginya tidak lebih bermakna hubungan yang dibangun oleh dua individu yang berasal dari adanya hal yang bisa saling menguntungkan kedua belah pihak, terlepas dari ketertarikan paket diri lawan jenis itu sendiri. Dunia memang sudah membuat manusia menjadi ekonomis. Ah bisa jadi manusia yang akhirnya membuat setiap pilihan yang tersedia di dunia atas dasar untung-rugi. Yang pasti, pria hitam itu sudah mendapatkan untung berupa kepuasan pelampiasan hasratnya dan ia sebagai wanita mendapatkan untung yang sama, hanya saja dalam kadar yang berbeda. Selebihnya, ia merasa rugi karena tubuhnya hanya dijadikan pelampiasan. Ini kali pertama ia menjalin rasa lewat status yang dinamakan dunia dengan pacaran. Nyatanya benar, status pacaran pertama ini memantapkan persepsinya bahwa status ini tak ada ubahnya dari hubungan dengan pria-pria terdahulu, yang dunia kenal dengan sebutan hubungan tanpa status.
Sudah pukul tujuh lewat tiga puluh. Setengah jam setelah alarm berbunyi ia tetap berbaring sambil memikirkan si pria hitam itu. Tolong dimaklumi jika ia masih mengingatnya. Dua bulan bukan waktu yang cukup untuk menghapus kenangan begitu saja. Menerobos cahaya ketika gordin kamar ia buka. Ia tarik napas dalam dan membuangnya panjang. Itu cara ia bersyukur kepada Pencipta karena masih memberinya kesempatan bernapas dalam tanpa beban.
Jarum detik jam terus menggeliat. Ia tidak boleh telat. Waktunya beribadat telah dekat. Ia gegaskan diri. Menyalakan air panas pada dispenser. Ia rapikan selimut seadanya. Ia ambil gelas yang berhari-hari dipakai untuk diisi air hangat yang belum lagi hangat pada dispenser yang baru saja menyala. Sekali teguk dan lega. Lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan, dimulailah kegiatan rutinnya sebagai wanita, merias diri. Dengan handuk yang masih menempel di tubuhnya, ia ambil pelembab yang berdiri tegak di meja rias. Dipoleskannya ke wajah sampai rata. Dilanjutkan dengan alas bedak yang tutupnya tinggal ditekan lalu akan memuntahkan cairan kental dan diletakkan pada punggung tangannya. Telunjuk tangan kanan mencolek cairan kental itu dan memoleskannya pada dagu, hidung, pipi kanan dan kiri, serta kening. Ia ratakan dengan sigap seolah telah ahli. Lalu ia tutupi lagi dengan bedak pada wajahnya yang telah berpelembab dan beralas bedak. Perona pipi disapukan halus pada daging pipi kanan-kiri. Lipstik dengan warna merah muda terlukis tipis di bibir. Tak lupa kelopak mata diberi warna coklat agar terlihat memikat. Terakhir, maskara bewarna hitam disisirkan agar bulu matanya terlihat lebih tebal.
Ya, ini kegiatan rutinnya sebagai wanita yang dimulai saat tahun keduanya bekerja. Bukan, merias wajah dengan peralatan make up itu bukan pencerminan dirinya. Ini bermula dari rekan kerjanya yang terlalu mencampuri penampilan ia sehingga atasannya menegurnya supaya ia bisa sedikit memoles wajah karena pekerjaannya menuntut ia akan dilihat banyak orang. Mau tidak mau ia harus mulai berdandan karena wajah alamiah tak cukup mampu merepresentasikan diri sebagai wanita dengan sempurna. Maka ia harus mampu berdandan agar terlihat cantik di mata dunia.
Dan, inilah hasilnya sekarang. Ia begitu terlatih untuk urusan yang satu ini. Sering ia berpikir mengapa harus wajah wanita yang mengenal bedak, alas bedak, perona pipi, lipstik, atau maskara. Apakah semua alat itu dijual dengan alasan karena wanita semakin tidak percaya pada wajah alamiahnya? Atau bisa jadi para pelaku ekonomi begitu cerdas membuat alat-alat itu karena mereka tahu bahwa wanita itu tidak lepas kaitannya dengan keindahan. Sampai pada tahap, masyarakat sudah memersepsi bahwa bicara tentang wanita berarti bicara tentang rupa. Itulah dunia yang begitu mampu mengendalikan manusia. Dan, ia harus terkendalikan keadaan juga demi mendapat tempat di lingkungannya. Ya, begitulah dia yang akan selalu menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakannya sendiri.
Kaos warna magenta telah melekat indah di tubuhnya. Rambut hitamnya tercepol rapi dengan poni yang ia tarik menggunakan bando hingga membuat keningnya terlihat menonjol. Ia siap melangkah melihat dunia. Cerahnya mentari di balik atap tetangga menyambut cerahnya wajah yang sudah tertata sempurna tanpa noda. Berkali-kali ia hirup dalam udara pagi yang belum ternoda sekadar ingin menyegarkan paru-parunya sebelum ia akan menutup hidung dan menahan napas saat sudah berada di pinggir jalan raya.
Ia stop angkutan umum yang hampir tiap hari dinaikinya. Sering temannya menasehati untuk membeli kendaraan sendiri dengan alasan bisa lebih irit dan tidak perlu lama untuk cepat sampai. Sayangnya ia tak pernah menggubris hal itu karena sama dengan kesendiriannya, naik angkutan umum adalah pilihan. Ia lebih nyaman duduk bersama dengan manusia lain yang tidak saling kenal. Di angkutan umum ia bisa temui manusia berbagai rupa dan sikap. Walaupun berbeda, ia merasa menjadi bagian dengan orang-orang itu karena mereka punya tujuan yang sama. Di saat kau tidak tahu jalan, ada mereka yang bisa membantu. Di saat kau naik, mereka akan menggeserkan diri dan menyediakan tempat duduk bagimu. Dan, secara tidak langsung mereka terkoneksi denganmu selama perjalanan. Malah bisa jadi kau akan bertemu dengan orang yang sama berkali-kali di angkutan umum itu, sampai akhirnya kau merasa dunia memang kecil sama kecilnya dengan angkutan umum itu. Hal-hal kecil seperti itu tidak akan bisa ia temui kalau ia punya kendaraan sendiri.
Ia suka merepresentasikan orang-orang yang ia temui di angkutan umum. Seperti saat ini. Ia tertarik melihat seorang gadis muda duduk di bagian paling belakang. Rambut gadis itu pirang buatan dengan poni seluruhnya menutupi kening. Riasannya terlalu tebal melebihi ukuran umurnya. Wajahnya simetris dengan bola mata yang besar. Softlense membuat matanya berbinar seperti mata kucing. Penampilannya membuat orang-orang mungkin akan mengidentikkanya sebagai gadis yang mudah diajak berkencan. Jauh menatap matanya, kau akan temukan sebuah rasa kecewa yang ia simpan dalam, seolah penuh beban. Entahlah, melihat gadis itu tiba-tiba ia menjadi merasa terkoneksi.

Sunday, October 31, 2010

Newnovel

Bagian 1

Ia duduk di sudut meja dengan pandangan lurus menatap jalan lewat kaca jendela. Mata yang menatap itu berkaca. Sayangnya kaca di matanya tidak kokoh seperti kaca di hadapannya, tetapi beriak seperti hendak retak. Sepasang manusia masuk lewat pintu berkaca yang ia tatap dan duduk tepat di samping mejanya. Ah, matanya yang berkaca kini benar-benar telah retak dan memunculkan sebulir air. Ya, hanya sebulir. Sama sepertinya yang kini hanya sendiri. Sendiri. Dulu kata itu adalah pilihan. Dulu, dulu itu tepatnya saat ia masih menuntut ilmu. Sendiri waktu itu mungkin sebuah pilihan yang lahir dari trauma. Baginya, mereka tak ubahnya seperti seonggok daging yang tak punya rasa.
Sepintas ia lihat pria si wanita itu. Sepintas ia lihat wanita si pria itu. Mereka saling tersenyum. Bukan, bukan tersenyum pada ia yang duduk sendiri. Mereka saling tersenyum, senyum yang dilakukan wanita untuk pria dan pria untuk wanita. Dan, ia tersenyum sambil menghembuskan napas menghela melihat senyuman mereka. Pikirannya mulai mengelana. Pria itu mengingatkannya pada mereka yang pernah singgah di hidup ia. Satu, dua, tiga, empat, lima, seterusnya. Semua sama tanpa rasa. Tak pernah ia temukan senyuman mereka sama seperti pria itu kepada wanitanya. Senyuman mereka hanyalah senyuman seperti seekor tikus yang rakus napsu.
Kali ini ia tahan air beriak di matanya agar tak lagi retak. Bukan saatnya ia terlihat lemah di tempat ini. Ah, makanan yang tidak ditunggu akhirnya datang juga. Ya, ia memesan makan malam di tempat ini, sekadar ingin merasai sendirinya. Dulu, tabu baginya makan sendiri di tempat umum. Makan sendiri di tempat umum baginya seperti manusia kesepian yang tak punya teman untuk sekadar berbagi cerita di tempat makan. Menurutnya, orang-orang akan menganggap wanita yang makan sendiri adalah manusia antisosial yang tak laku di pasar kepribadian dan diri. Dan, pikiran itu sungguh melecehkannya.
Namun, saat ini ia beranikan duduk sendiri di tempat makan. Ia beranikan melawan pikiran yang melecehkannya. Gampang baginya jika ingin duduk bersama dengan seorang pria di tempat ini. Hanya tinggal menekan tombol ponsel dan mencari nama yang ingin diajak, masalah telah selesai. Tapi, bukan itu yang ia mau. Rasanya percuma jika nama yang ingin diajak itu duduk sambil tersenyum palsu padanya. Rasanya percuma jika nama yang ia cari di ponselnya duduk di hadapannya sambil bercerita kisah fiktif tentang ia dan dia. Ia ingin orang yang duduk di hadapannya tersenyum sama seperti pria di samping mejanya itu yang tersenyum dengan wanitanya. Ia ingin berbagi cerita tentang rasa. Ya, ia ingin rasa.
Mengingat rasa membuatnya semakin tenggelam dalam ingatan. Sambil memutar-mutar kwetiau pada sebuah garpu sebagai menu makannya malam ini, ia ingat tentang rasa. Ia tersadar ia tidak punya rasa. Mungkin, hampir akan kehilangan rasa. Mereka yang pernah singgah sebagai tikus yang rakus napsu tidak ada yang melahirkannya rasa. Oh tidak, ada beberapa tikus yang rakus napsu yang pernah memunculkannya rasa. Tapi sayang, ia telah salah memberi rasa. Rasa terbuang dengan sia-sia dan ia kecewa. Pada masa ia kecewa, hampir di setiap helaan napas panjangnya ia inginkan rasa lagi, yang baru, yang ia pikir akan lain, yang ia pikir akan berhasil, tapi tetap saja ia kecewa.
Sampai pada akhirnya, ia putuskan untuk mematikan rasa. Ini pilihannya. Ia memilih ini karena ia lelah berharap pada rasa. Semangat juangnya untuk rasa habis tak tersisa. Jika kelak ia bertemu lagi dengan dia yang entah siapa, ia hanya perlu memilih dengan logika, bukan rasa. Karena, ia begitu tidak mengerti dengan rasa.
***

Thursday, August 12, 2010

Dia, Boneka, dan Kasurnya

Kasur : Aku muak!
Boneka : Kau pikir aku tidak muak!
Kasur : Kalau kau pun muak, ya katakanlah padanya.
Boneka : Kalau dia mengerti bahasaku, sudah kukatakan itu dari dua tahun lalu.
Kasur : Kalau dia tak mengerti bahasamu, lantas mengapa hampir tiap malam kau dengannya bercakap?
Boneka : O-o-oo, kami tidak bercakap, Teman. Lebih tepatnya dia yang selalu bercerita padaku.
Kasur : Ya ya ya, walaupun kalian tak bisa saling berkata, setidaknya kau mengerti rasa.
Boneka : Ya, ya, aku terlampau mengerti rasa hatinya. Malah beberapa rasa hati temannya yang pernah dikenalkannya padaku.
Kasur : Ah, sayangnya aku hanya mengenal bokongnya saja!
Boneka : Hahaha, sungguh malangnya nasibmu.
Kasur : Aku tidak butuh tertawamu. Ayo, kita cari solusi untuknya. Aku kasihan padanya kalau dia sudah mulai meneteskan airmata. Sering airmatanya membasahiku.
Boneka : Bagaimana memang rasa airmatanya, Teman?
Kasur : Airmata itu begitu berasa kepedihan, sakit hati, penyesalan, dan kekecewaan. Airmata itulah yang bercerita banyak padaku tentangnya.
Boneka : Apa saja yang diceritakan airmata padamu?
Kasur : Sering sebelum airmata itu kering di tubuhku, ia menggerutu sendiri.Katanya, “Dia itu perempuan bodoh, begitu relanya mengeluarkanku dengan percuma hanya karena lelaki buruk hati”. Atau, “Aku tidak mengerti jalan pikirannya, sudah tahu sebuah kesalahan, tapi ia tetap melakukannya. Aku kasihan padanya”. Airmata mengatakan itu sambil menangis. Sungguh membuatku terharu. Ngomong-ngomong, kalau denganmu, apa saja yang diceritakannya?
Boneka : Ya sama seperti kata airmata. Ia selalu bercerita tentang lelaki yang selalu singgah di sini. Tapi akhirnya, Cuma tiga yang bisa aku simpulkan. Lelaki pertama menjadi kenangan. Lelaki kedua, dia jadikan pelajaran dari sebuah bentuk kesalahan. Lelaki ketiga, keempat, dan seterusnya adalah pilihan. Dia memilih untuk terus melakukan pilihan. Lantas apa yang bisa aku buat? Walaupun aku bisa menasehatinya tentang hal-hal penting, tapi aku tak bisa menentukan pilihannya.
Kasur : Kau benar.
Boneka : Kau tahu tidak hal bodoh apa yang tidak bisa diubahnya?
Kasur : Ehm, apa?
Boneka : Dia orang yang tak kuasa untuk menolak. Untuk urusan itu, dia terlalu lemah. Hanya karena bermodal rasa percaya bahwa suatu saat lelaki-lelaki itu akan berubah, dia terus memulai dengan cara salah. Lalu apa yang dia dapat? Hanya kegembiraan sesaat lalu setelah itu lenyap.
Kasur : Ya, kegembiraan sesaat. Ah, tapi pernah beberapa kali kupergoki ia setelah gembira malah mengeluarkan airmata.
Boneka : Ya, aku pun melihatnya saat itu, pertama kali, kira-kira dua tahun lalu saat ia bertemu dengan Si Orang Pertama. Ketika untuk pertama kali ia selesai mengerti rasa, ia menangis di sampingnya. Waktu itu dia cerita perasaannya sedang campur aduk—antara rasa lega karena telah tahu rasa, kecewa karena ia telah mencoba, dan takut akan dosa. Hemph, tapi untungnya ia masih bisa berlogika. Ia masih menurut kata ibunya untuk tetap menjaga hal penting menurut takaran dunia.
Kasur : Benar, untunglah. Oh ya, tapi dia masih percaya kan dengan cinta?
Boneka : Heh, kurasa tidak lagi, Teman. Lelaki telah mengaburkan persepsi cinta padanya. Dari awal sebelum ia mengenal yang pertama, ia tidak mengerti cinta. Ah, tepatnya belum pernah merasa cinta. Namun, ketika orang pertama datang, ia mulai belajar. Sayangnya, ia telah salah orang. Lalu muncul lagi cinta pada orang yang kesekian. Padahal diawali dengan biasa saja, tapi lama-kelamaan ia jatuh cinta. Tapi sayang, ternyata sama saja. Sampai akhirnya muncul orang-orang baru lagi yang hanya datang karena naluri yang dirasanya semakin tidak punya cinta.
Kasur : Dan, akhirnya ia kehilangan cinta?
Boneka : Ya, ia telah mati rasa untuk cinta. Ia semakin pesimis untuk menemukan cinta.
Kasur : Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta!
Boneka : Dia pun sudah kehilangan kegairahan untuk mencoba yang baru lagi. Hanya tinggal menikmati mereka yang masih tersisa, tanpa memakai rasa. Ya, hanya sebatas memenuhi naluri saja.
Kasur : Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta!
Boneka : Padahal dua tahun lalu ia berujar dalam hati ingin mulai mencoba membuka diri untuk pertama kali, tapi hingga kini ia malah semakin kehilangan rasa bernama cinta.
Kasur : Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta! Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta! Dunia-dunia, lihat, dia mati cinta!
Boneka : Hus-hus, dengar, dia telah kembali. Lihat, ia bawa teman.
Kasur : Ah benar saja. Kali ini, siap-siap tubuhku beraroma garam lagi.

Cisitu, 8 – 8 – 10
01.10 am

Sunday, July 18, 2010

Kecewa. . .

Entah beberapa hari lalu, sengaja saya lupakan karena saya tidak ingin mengenang hari itu, kembali saya menangis di balik selimut. Saya menangis karena saya kecewa. Saya kecewa karena pemberian saya ditolak. Pemberian saya ditolak karena saya pikir mungkin ia merasa saya punya maksud lain. Dan, jika demikian, sungguh ia telah keliru.

Pemberian kecil itu berupa tulisan di sebuah games online Farmtown yang kerap saya mainkan di situs jejaring sosial, Facebook. Tulisan yang hanya terdiri atas empat kata itu saya kerjakan hampir seminggu. Banyak kendala dalam proses pengerjaannya, dimulai dari komposisi warna tulisan yang terlihat tidak kontras ketika beberapa hari proses penanaman bibit tumbuhan; ukuran tulisan yang tidak merata sama; ataupun huruf yang dibentuk tidak begitu terbaca ketika tanaman itu sudah tumbuh. Proses yang menyita waktu saya dalam pembuatan empat kata itu sama sekali ia tidak tahu. Sama halnya dengan maksud pembuatan empat kata itu, mungkin ia pun tidak tahu.

Empat kata itu muncul dibenak saya ketika kepulangan saya dari tempatnya pada suatu hari. Belum lama saya mengenalnya, masih jauh dari kata genap setahun. Saya menganggapnya sama dengan teman-teman saya yang berjenis kelamin laki-laki. Makin lama mengenalnya cukup membuat saya tahu bagaimana karakternya lewat respon-respon yang ia berikan, lewat pengalaman masa lalunya, lewat kebiasaannya, dan lewat perkataannya. Lalu, anggapan saya sedikit berubah.

Sebelumnya, tidak pernah bagi saya mendoakan seseorang yang bukan keluarga hampir setiap hari di doa-doa saya. Jarang pula saya memiliki sebuah hati yang begitu mudah tersentuh kepada seseorang. Malah mustahil rasanya jika saya bisa menangis ketika mendoakan orang lain yang bukan keluarga saya. Tetapi, ketidakpernahan itu tidak berlaku untuknya. Saya pun hampir dibuat bingung ketika kerap saat saya mendoakannya, hati saya bisa begitu tersentuh hebat, entah kekuatan apa yang menggerakkannya hingga menangis menjadi tidak tertahankan.

Saya hanya bisa meyakini bahwa mungkin itu sebuah bentuk kasih yang Allah curahkan buat saya agar saya bisa menyampaikan kasih itu kepadanya. Ya, saya pikir mungkin karena kami sama-sama anak-Nya. Dan, kasih itu saya realisasikan dengan mengirimkan empat kata yang menguatkannya untuk terus berjuang demi hidupnya sendiri. Saya ingin ia berjuang karena saya melihat ia kehilangan alasan untuk tetap mempertahankan hidupnya. Dan, saya sungguh merasa sedih. Sungguh tidak tega melihatnya menahan sakit tubuh yang katanya ia derita sedari kecil, juga melihatnya kecewa terhadap hidup dan kehidupan.

Mulai saat yang tidak terdeskripsikan dengan pasti saya telah memosisikannya sama seperti kakak dan adik-adik saya. Kembali saya katakan, saat itu. Baik saya pertegas, SAAT ITU, ya saat ketika saya masih memosisikannya sama seperti saudara kandung saya. Mengapa saat itu? Ya jawabannya karena tidak untuk saat ini. Tidak lagi! Sikapnya terlalu membuat saya kecewa. Sikap yang hanya sekadar me-remove tag gambar berupa empat kata terlalu membuat saya kecewa.
Logika sederhana saya tidak mampu menjawab mengapa ia me-remove tag gambar berupa empat kata itu. Pikiran buruk saya hanya menjawab bahwa mungkin ia terlalu tinggi hati menerima bantuan dari saya. Atau bisa jadi, ia terlalu merasa rendah diri di hadapan saya. Apa pun alasannya, perbuatannya telah membuat saya begitu kecewa. Kekecewaan saya sampai pada sikap saya yang tidak ingin mau tahu lagi tentang hidupnya.

Ya, saya akui sikap saya ini terlalu impulsif. Kekecewaan membuat saya tidak dapat berpikir dengan jernih. Ya sudahlah, anggap saja saya telah keliru sudah menganggapnya sebagai saudara karena ternyata ia tidak menganggap demikian juga.

Sunday, May 30, 2010

Mengenang Rasa yang Pernah Ada

Sekotak martabak. Banyak bicara. Kerupuk Palembang. Nonton film teve. Nonton film di komputer. Makanan ringan. Ngobrol. Terkadang memakai topeng. Terbuka. Es krim. Menunggu. Menunggu sebentar. Menunggu lama. Menunggu sampai bosan. Menunggu sampai ketiduran. Tengah malam. Subuh. Naruto. Kekanak-kanakan. Polos. Berdua. Bercanda. Karpet puzzel. Berkirim pesan. Alasan basi. Diam-diam. Mengaku sepupu. Revo. Bernyanyi. Sibuk. Manis. Nomor telepon ibu. Membelai. Pertama. Begini rasanya. Kesal. Air mata. Material. Pengakuan. Hanya mainan. Kecewa. Dalam hati.

Film horor. Bertiga. Mencari identitas. Putri. Biasa. Hilang. Bertemu lagi. Meminta nomor. Alasan. Mall. Bercanda. Meteorologi. Pengukur angin. Kampus. Es buah. Angkot. Meminta. Menolak. Hujan-hujanan. Membelai. Merah. Kiriman makanan. ayat-ayat cinta. Diam-diam. Tidak enak hati. Bola. Memeriksa ulangan. Membacakan nilai. Malu-malu. Masih keras hati. Sayang telah menolak. Ingin mengulang kembali. Tengah malam. Lolongan anjing. Siaran langsung adegan. Iseng. Lama. Sepi.Tiba-tiba. Halus. Kamar mandi. Ngobrol. Sedikit terbuka. Pengakuan. Biasa saja.

Bercanda. Malam. Berboncengan. Bukit bintang. Salah orang. Melihat alat kerja mesin. Bercanda. Saling menghina. Pasti ngobrol. Bebek goreng. Hitam. Bertiga. Edan. Tidak tahu malu. Terpikir ada hati. Sedikit. Bersenang-senang. Ternyata. Sebegitunya demi. Mall. Nonton. Ikat rambut panjang. Salah kostum. Tertawa hahaha. Berkesan. Berkirim pesan. Laptop. Pagi. Siang. Malam. Susu kotak. Melayani. Salah mengira. Ternyata. Menghina diri. Tertawa hahaha. Online. Kamuflase. Nasehat. Bosan. Hilang. Telepon. Tengah malam. Menangis di hadapan. Merasa bodoh. Sikap aneh. Jahat. Mencium tangan. Tertelan. Arghhh. Asap rokok. Berisik. Makanan ringan. Kamar orang. Baru tahu. Jadi beda. Padahal suka. Menjauh. Hilang. Kembali. Ternyata hanya itu. Hilang lagi. Kecewa. Sakit hati. Berbekas sekali. Tidak ada tertawa hahaha lagi. Dalam hati.

Kanak-kanak. Polos, tapi ternyata. Teknik lingkungan. Naruto. Suka menganga. Hahaha. Manis. Berkesan. Mahir sampai bosan. Merasa adik. Sama seperti. Tengah malam. Mungil. Komik. Lucu. Belajar. Saling menghina. Tanpa rasa. Ternyata. Ambisi gila. Sendiri. Merasa ingin seperti seorang yang diceritakannya. Motor. Subuh. Tidak tahu malu. Bulu. Hahaha. Ada maunya saja. Ya sudahlah. Lagipula tanpa hati.

Banyak bicara. Besar. Suka jika mendongengkan cerita. Melankolis. Gemar. Mungil. Aroma garam. Nonton. Suka memerhati. Pintar bicara. Cerita. Imajinasi. Tertawa hahaha. Kalem. Mudah. Rumah. Ternyata. Tertipu. Kasihan. Biasa saja. Banyak pengalaman. Tidak malu. Susah untuk terbuka. Berboncengan. Lama. Diet. Mahir. Senang. Merasa ada. Suka jika. Suka berlama-lama. Tapi biasa saja. Ya sudahlah. Bukan kriteria. Sekadar suka. Kadang menginginkannya ada. Terapi. Industri. Bersendawa. Hahaha. Kucing. Oh begitu. Manis. Bercerita. Bercerita runtut. Bercerita. Tidak habis kata. Bukan saya. Pengakuan. Berjarak. Kembali lagi. Suka sekali jika. Dia tahu cara. Menangis. Cemburu terhadap tokoh di ceritanya. Merasa kapan bisa. Merasa dijahati. Ada maunya saja. Ya sudahlah. Jalan kaki demi. Biasa saja. Tapi sakit hati.

Berdua. Berakhir pekan. Tertawa hahaha. Manis. Bernyanyi. Rutinitas baru. Bertelepon. Berkirim pesan. Menolong. Email. Memakai topeng. Ternyata. Ayam goreng. Es krim. Dilayani. Sakit. Bercanda. Makan dalam satu piring. Saling berebut. Saling ribut. Ngobrol lagi. Tertawa lagi. Malu-malu.. Musik keras. Nyaman jika. Suka sekali di sana. Banyak bicara. Tanpa kata. Tapi mengerti rasa. Suka menghina. Hahaha. Keras tapi melankolis. Kekurangan. Pertama berdoa. Dengan hati. Meminta agar Tuhan. Menghabiskan waktu. Ulang tahun. Ternyata. Hadiah terindah. Lagu berkesan. Disuruh dengar. Ternyata. Diingat. Sengaja menghilang. Dicari. Ketemu lagi. Berjarak. Selalu begitu. Memasukkan nilai. Tembak-tembakan. Gitar. Pengakuan. Memeluk erat. Iseng. Lucu jika. Gengsi tinggi. Sayang. Berbeda dari yang lain. Metal. Berdoa. Kasih murni. Tapi bukan untuk memiliki. Cemburu. Aneh. Online. Kamuflase. Kesal. Menjauh. Menangis. Dalam hati.

Mengenal anatomi. Besar. Mungil. Imajinasi hahaha. Bukit bintang. Memandang sekitar. Suka bercerita. Banyak bicara. Dokter. Tentang tubuh. Makan malam. Parkir mobil. Terbuka. Tanpa rasa. Tidak serius ternyata. Ya sudahlah. Main-main saja.

Mirip kakak. Tinggi. Baik. Pemula. Sensitif. Konvensional. Teknik. Banyak bicara. Tidur. Tertawa. Bicara ambisi. Tertarik. Berharap jika. Ideal. Ternyata. Kecil hati. Hujan-hujanan. Narsis. Hahaha. Hati-hati. Lucu. Baru pertama. Ternyata ada. Takut sekali. Menangis karena tokoh ceritanya. Cemburu. Ingin seperti itu. Mudah-mudahan. Dalam hati.

Lagi. Dokter gigi. Pengangguran. Penyiar. Kuliah. Entahlah. Batak. Sunda. Jawa. Cina. Entahlah. Semua sama. Sebentar. Menghilang. Tanpa rasa. Sekali. Sudah. Tidak lagi. Tapi semua sama. Semua sama saja. Semua kini mati. Mati. Ya, mati!!

Sunday, April 25, 2010

Ironis

“Apakah kalian tahu apa itu patriaki?” Si pembicara sejenak berhenti setelah bertanya. Ia menunggu respon dari pertanyaannya. Semua hadirin diam. Diamnya hadirin bisa jadi karena dua hal. Pertama, kondisi hadirin yang mungkin sudah tidak nyaman dengan panas ruangan tanpa ventilasi, hanya ada kipas yang berputar lambat jauh di atas kepala. Terlebih acara seminar ini baru satu jam dimulai setelah mereka mendengarkan monolog-puisi yang kemungkinan besar tidak dimengerti. Ya, sekadar dinikmati. Alasan kedua, memang hadirin tidak tahu apa itu patriaki.
Hadirin yang hadir pada acara Parade Suara Perempuan sebagian besar adalah perwakilan siswa SMP dan SMA se-Bandung yang didampingi oleh guru mereka masing-masing. Mereka hadir di sana karena undangan. Yang saya pahami dari undangan itu siswa akan mendapatkan bagaimana cara menulis kreatif fiksi yang baik, yakni fiksi yang mencuatkan kehidupan sebagai refleksi. Tapi yang saya cermati, siswa yang saya pilih untuk ikut seminar ini merasa hanya disuguhi esensi membuat fiksi hanya kurang dari lima menit saja. Dan, tiga jam berikutnya mereka disunguhi monolog-puisi dan seminar biasa.
Saya katakan biasa karena seminar ini telah biasa saya dengar dulu ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Kata-kata pembicara tentang feminisme, gender, hegemoni, patriaki, eksistensialisme, sampai emansipasinya Kartini, sudah pernah saya lumat habis dari koleksi buku-buku saya. Dan, mendengar pembicara membahas masalah itu bagi saya sama seperti membaca ulang buku-buku tersebut. Akhirnya, saya mengikuti seminar itu dengan sikap sedikit menyepelekannya karena telah sok merasa tahu inti yang dikemukakan pembicara.
Lalu saya hanya mengamati gaya si pembicara. Ia adalah dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra di Universitas Pendidikan di Bandung ini. Sesekali ia memperbaiki rambut yang keluar dari kerudungnya. Ia berdiri sambil menatap power point yang terpampang jauh di kanannya. Wajahnya agak sedikit pucat, mungkin kelelahan.
Awalnya, ia sajikan data sebagai bahan analisisnya. Data diambil dari buku-buku Sekolah Dasar yang memperlihatkan bahwa perempuan selalu dipersepsikan sebagai pelaku domestik, dan lelaki dipersepsikan sebagai pelaku publik. Setiap satu data disajikan, pembicara akan bertanya pada hadirin apa maksud data itu.
Dilanjutkan menyajikan data dari koran. “Empat Gadis ABG Gagal Didagangkan ke Batam”, “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, sampai pada judul “Wanita Racun Dunia”. Ketika disajikan judul “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, anak-anak SMA yang duduk di belakang kami begitu menggebu sambil berdiri menyatakan ketidaksukaannya karena dari judul itu perempuan dikategorikan negatif. Tapi, adalah ironis saat saya lihat gaya siswi SMA yang berbicara itu tengah memperlihatkan sikap seksi, centil, dan penggodanya. Saya katakan seksi karena ia mengenakan seragam ketat dan saat berdiri menunjuk-nunjuk diri terlihat pusarnya ingin eksis juga. Sikap tubuh yang cekakak-cekikik mengartikan kecentilan mereka dan itu mampu menggoda lelaki di sana. Ya saya pikir wajar saja jika ada yang mengatakan “Wanita Racun Dunia”.
Sampailah pada akhir seminar. Tiga atau empat penonton diminta untuk memberikan kesannya ke depan. Kesan diakhiri dari seorang bapak berkumis.
“Ya, yang saya bisa tangkap dari seminar ini, kiranya wanita tidak malas untuk ke dapur.” Berhenti sejenak. Saya lihat air muka pembicara berubah. Dan, saya pun ikut terhenyak lalu tertawa hebat dalam hati.
“Tapi, laki-laki pun jangan malas untuk ke dapur.” Si bapak berkumis melanjutkan perkataannya. Pembicara terlihat sedikit lega karena ternyata setengah jam ia bicara tidak percuma.
Saya jadi bertanya, apa siswa-siswa yang tiga jam di ruangan tadi mengerti apa yang telah dipaparkan pembicara? Saya pesimis karena lingkungan tempat tinggal mereka belum tentu mendukung semangat penyetaraan gender yang digaungkan si pembicara tersebut.
Setidaknya, kesetiaan kami menyaksikan acara tanggal 24 April lalu itu pun tidak sia-sia karena satu anak saya beruntung mendapatkan sebuah buku bagus yang mampu mencerahkannya.

Friday, April 23, 2010

Kami Bukan Sekadar Tubuh

Dua hari yang lalu saya berbincang dengan kakak saya yang berjenis kelamin laki-laki. Dia kakak saya karena kami ditakdirkan dari satu rahim ibu yang sama. Tapi saya rasa, dia bukan kakak saya karena saya tidak tahu siapa dia. Mungkin ini akibat terlalu lama kami terpisah jarak—bukan jarak hidup memang, melainkan jarak tempat. Ya, itu rasa saya.
Ternyata jarak tempat sembilan tahun membuat saya semakin tidak mengenal dia. Salah satunya dari pembicaraan kami dua hari yang lalu, yakni tepat saat Indonesia memperingati hari Kartini. Ketika itu, setelah terlupakan kapan terakhir kami berbincang, kami berbincang lagi. Itupun tidak sengaja kami dipertemukan oleh media bernama facebook. Kukatakan sekali lagi, kami tidak sengaja mempertemukan diri untuk berbincang. Ini karena kami telah sibuk mengurusi dunia kami masing-masing.
Tetapi, dua hari lalu itu saya sedikit mengurusi dunianya. Tidak lebih karena saya ingin dia mendapatkan seseorang untuk teman hidupnya. Dan, saya pikir wanita ini ideal dengannya. Ya, ini mungkin keinginan kecil dari seorang yang sedang memosisikan diri sebagai adik. Saya kenalkan dia pada seorang sahabat saya agar dia mau mengenalnya lebih baik. Tetapi, responnya mengejutkan saya.
“Bekas.” Satu kata itu membuat saya terintimidasi, padahal saya tahu itu bukan ditujukan pada saya. Tapi, saya sebagai wanita telah terintimidasi. Lalu, dari sana saya mulai berpikir dengan nalar sederhana saya.
Bekas. Menurut saya ini bermakna satu hal atau benda yang tersisa atau yang telah terpakai; satu hal atau benda yang tidak baru lagi; second—tangan kedua; yang bisa jadi tidak lebih baik dari hal atau benda yang baru (belum tersentuh sama sekali). Dan, kata “bekas” itu sungguh berbekas di hati saya.
Saya jadikan responnya itu sebagai representasi dari respon lelaki. Ternyata, lelaki masih ada yang mempermasalahkan “kebekasan” seorang wanita—apakah wanita itu pernah berpacaran dengan lelaki lain atau tidak; atau mempermasalahkan bagaimana gaya berpacaran si wanita. Saya akui, dia berespon seperti itu pada sahabat saya (padahal kenal pun belum sama sekali) karena di persepsinya sahabat saya ini gaya berhubungannya dengan kekasihnya dulu sama seperti gaya berhubungan lelaki-wanita masa kini. Jika begini yang saya pahami, saya pikir kakak saya tidak ingin rugi karena dia menganggap diri masih “baru”, sayang apabila dapat pasangan yang “bekas”. Ya, mungkin dia ingin mencari kesepadanan.
Yang saya sesalkan, ini terlontar dari kakak saya. Responnya menyiratkan seseorang yang belum bisa mencinta secara dewasa. Nanti, jika kelak saya bertemu dengan lelaki, saya akan coba paparkan “kebekasan” saya. Jika dia tidak bisa menerima, itu artinya dia masih mencinta dengan pamrihnya, bukan mencinta saya dengan alasan memang dia menerima saya tanpa butuh alasan.
Ironisnya, kami berbincang tepat di hari Kartini, yang katanya ia seorang yang begitu menggebu melontarkan semangat emansipasi. Tapi saya pikir, dari kejadian ini, eksistensi kami masih seperti dikebiri tepat di hari Kartini. Kami masih dipersalahkan dalam urusan tubuh kami—apakah masih “baru” atau dikotominya. Jika masih demikian persepsi lelaki, lalu diletakkan di mana urusan hati? Hai lelaki, coba pikirkan ini!

Tuesday, April 20, 2010

Teriakan Mereka

Biasa angin MENGGODA. Tapi, tadi tidak lagi. Angin menusuk-nusuk sampai ke ulu. Ulu menjerit. Memekik sengit. Lambung pun sama menderitanya. Lambung tak tahan dikepung. Lambung makin meradang di kala angin smakin menerjang. Tolong-tolong HADANG angin itu!! Jangan biarkan ia mengganggu kenyamananku!! Pekik lambung seolah minta ampun. Oh SAYANG, wajah lambung kini terlanjur asam. Teriakkannya tak dihiraukan.

Mulai lagi rahim bergolak. Dinding-dindingnya segera akan runtuh, terkisis perlahan karena masanya telah tiba. OH dinding rahim akan RUNTUH!! SEGERA-SEGERA-SEGERA ambil RENCANA sebelum ia keluar membawa NODA. Tes...tes...tes...ah...noda terasa telah ada. Tapi, percuma karena si empunya tak dapat melihat dalam gelap. OH TIDAK-TIDAK-TIDAK, sakit akibat kikisan rahim ini begitu tidak tertahan. Malah sakitnya ikut dirasakan pinggang.

Kini giliran KEPALA. Ah, kenapa kepala pun ikut BERSUARA. SUDAH-SUDAH-SUDAH bersabarlah DULU dalam nyerimu.

Ulu, lambung, rahim, pinggang, kepala,,,,mari kita bersatu dalam doa!

Monday, April 19, 2010

Hippo Time

Hippo Time diperkenalkan oleh seorang penulis bernama Paul McGee. Intinya adalah waktu tenang, yakni waktu ketika Anda merenung, memikirkan ataupun menenangkan diri dari suatu pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami.”

Setelah selesai membaca satu paragraf dari artikel suatu majalah mungil yang ia pinjam dari perpustakaan, ia bergeming. Sendiri hening. Rekaman masa lalu yang ia simpan rapi di sisi memori-memori lain otaknya kembali terputar. Rekaman sepuluh tahun lalu itu sedikit menusuk hati yang ia sendiri pun tidak tahu pasti di mana letak hati dalam tubuhnya. Yang ia tahu ia merasakan nyeri di bagian yang orang namakan dada, tempat jantung berada.

“Terkadang terhadap orang yang berduka atau mengalami kemalangan kita berkata, “Ayolah lupakan saja. Segera bangkit lagi.” Memang, nasihat semacam ini berguna bagi orang tertentu. Tetapi, bagi beberapa jenis individu yang membutuhkan waktu tenang, justru itu bukanlah nasihat terbaik. Secara psikologis, hippo time ini punya efek penyembuhan karena kita belajar menerima, berdamai, sekaligus melepaskan beban yang tidak menyenangkan itu.”

Ia lanjutkan membaca satu paragraf berikutnya. Kembali terdiam tanpa kata. Kembali rekaman masa lalu itu terputarkan tanpa jeda. Dan, ia yakini dengan rasa bahwa ia pernah mengalami hippo time dalam hidupnya. Dua tahun lalu, ia putuskan untuk berdamai dengan ketakutan akibat rekaman sepuluh tahun lalu itu—rekaman yang membuatnya mengutuk habis sebuah hubungan antara perempuan dan lelaki.
Ya, rekaman itu didapatkan dari orang terdekatnya. Ia merekam dengan nalar gadis usia empat belas tahun, merekam dengan jelas lewat mata dan hati bahwa hubungan perempuan dan lelaki yang tercermin dari orangtuanya tidak lebih dari sebuah tahi ayam. Ah, dia lebih suka menyebutnya tai ayam, tanpa ada huruf /h/ yang melekat di sana karena menurutnya huruf /h/ itu membuat kata tai jadi lebih elegan. Ia sama sekali tidak merasa tai itu elegan.
Mengapa tai ayam? Ya karena dengan pengalamannya hidup selama empat belas tahun ia sering menjumpai tai ayam di halaman rumahnya. Tai ayam yang baru dikeluarkan tidak akan terasa bau, tetapi ketika ia sudah lama diam di sana maka akan tercium bau menyengat. Sama dengan hubungan orangtuanya, dimulai dengan awal yang biasa saja, tetapi ketika telah bersama belasan tahun mulailah bau itu menyengat—bau kebosanan, bau kesalahpahaman yang dibiarkan, dan bau kesakithatian. Itu yang ia cerna ketika ia masih berusia empat belas tahun.
Akhirnya dari pengalaman itu ia putuskan untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau “hubungan perempuan-lelaki”, layaknya seperti tai ayam yang ia yakini semua orang pasti tidak akan suka. Mulai dari usia itu ia menarik diri dari lelaki. Mulai mengintimidasi lelaki. Lantas mengapa lelaki? Bukan “hubungan perempuan-lelaki” yang dianggapnya seperti tai? Itu karena ia begitu tidak suka pada sosok yang dunia namakan ayah. Sosok itu yang awalnya berulah, membuat memori buruk pada anak-anaknya. Oleh karena itu, dianggapnya lelaki sama seperti “hubungan perempuan-lelaki”. Berarti, “lelaki” dan “hubungan perempuan-lelaki” adalah tai!

Berjalanlah waktu. Sembilan tahun berlalu. Ia telah mendapatkan titik jenuh. Ia bosan sendiri. Ia ingin berbagi. Mungkin ini yang dinamakan naluri. Muncullah hippo time itu, sebuah waktu dari kulminasi sebuah rasa sendiri. Dulu ia suka memaki sepasang manusia yang jalan bergandeng tangan penuh mesra, tetapi kini ia ingini. Mulailah ia berdamai dengan diri, menyudahi kesakithatian yang telah mengerak di sudut hati. Karena ia sadari, semua itu percuma. Sia-sia.

Ah, tapi jangan kalian pikir ia tidak mengganggap “hubungan perempuan-lelaki” itu tidak seperti tai lagi. Persepsi itu masih mengerak di otak. Ia hanya berdamai dengan persepsi yang menilai bahwa lelaki itu tai. Itu saja. Ia pun mulai berdekatan dengan lelaki, mulai membuka hubungan dengan lelaki, tapi hanya sebuah hubungan tanpa ikatan. Tanpa komitmen. Tanpa menganggap seorang lelaki itu eksklusif. Hanya sebuah hubungan yang ia pakai untuk mengenal diri dan rasa dari manusia yang dinamakan lelaki. Dan, ia menikmati.

Dua tahun berlalu. Kembali ia rasai hippo time-nya, waktu saat ia mulai berdamai lagi dengan hidupnya karena ia merasa ia telah kembali berkulminasi. Kali ini kulminasi sebuah rasa sendiri dan rasa hati. Ia semakin merasa sendiri di kala banyak lelaki mendekati dengan tanpa hati. Ia semakin merasa dua tahun ia lewatkan dengan sia-sia karena hatinya terluka. Ya, ia pakai hati. Ia telah pakai hati. Hai dengar semua, gadis ini telah pakai hati! Awalnya ia pikir bisa tidak perlu melibatkan hati, tapi ternyata tidak. Hubungan tanpa ikatan itu telah membuatnya sakit hati—sebuah sakit hati yang sia-sia pada mereka! Huh, tapi ia anggap hal itu wajar karena dua tahun lalu ia belum jadi wanita yang mampu mencerna dengan logika.

Namun kali ini, saat ini, ketika kata-kata ini Anda baca, ia telah putuskan untuk melepaskan beban yang tidak menyenangkan baginya ini. Cukup baginya ia lewatkan beberapa hari belakangan ini untuk ber-hippo time. Ia mulai mencari jawaban yang bisa menabahkan diri tentang “hubungan perempuan-lelaki”. Ia mulai menganggap masalah orangtuanya dulu yang menjadi titik awal kebekuan hatinya adalah wajar karena itu hanya dinamika berumah tangga; mengganggap ketika itu orangtuanya sedang dicobai walaupun mereka tidak mampu melewati cobaan itu dengan baik; dan banyak alasan lain yang dimunculkan untuk berdamai dengan kesakithatian itu.

Kini, ia tidak ingin menjadi gadis lagi. Ia ingin menjadi wanita yang mampu mencerna dengan logika. Lalu hati ia simpan dengan baik sampai tiba waktunya nanti diberikan pada lelaki dengan terlebih dahulu membuat ikatan dengannya. Lalu kalau nanti tiba satu masa lelakinya mulai berulah sama seperti ayah, ia akan mempersepsikan diri bahwa ia sedang dicobai. Hanya tinggal lihat nanti apakah mereka bisa melewatkan cobaan itu atau tidak. Ayo dicoba! Oh tidak, jangan dicoba, tapi ayo lakukan! Hemphh, rasanya ini terdengar lebih baik.
Ya, kini ia berhasil menyembuhkan luka yang disimpan bertahun-tahun lamanya. God, just bless her.


Aku cerita tentangnya agar setidaknya kamu bisa menyediakan waktu sibukmu untuk berdamai dengan keras hati yang menjadi masalahmu.

Friday, April 9, 2010

cita-cita saya

Mengajar adalah pekerjaan ideal bagi saya. Pertama, lewat mengajar, mau tidak mau saya dituntut untuk terus memperbarui pengetahuan. Memperbarui pengetahuan menurut saya adalah bagian dari pembelajaran. Dan, saya menyukai hal itu. Kedua, saya lebih menyukai ruang kelas dengan segala isinya daripada ruang kantor dengan melulu berada di depan layar komputer karena menurut saya pekerjaan seperti itu membelenggu. Di ruang kelas, saya bisa berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai karakter, berdiskusi dengan mereka, dan menjadi teladan sekaligus teman. Dan ketiga, saya suka membagi pengetahuan. Membuat orang lain mengangguk mengerti dengan pengetahuan yang saya berikan adalah suatu hal yang menyenangkan.
Pernah saya mendengar, guru adalah pengajar yang mencintai anak-anak, sedangkan dosen adalah pengajar yang mencintai ilmu. Di satu sisi, saya menyukai dunia anak-anak. Menurut saya, dunia anak-anak tidak mengenal status; anak-anak adalah manusia yang sedang belajar mengenal dunia. Dari mereka, saya dapat belajar, misalnya menghargai manusia tidak dengan status mereka, ataupun menjadi seperti anak-anak yang selalu haus untuk belajar dan mengenal dunia.
Namun di sisi lain, saya menyukai ilmu. Saya suka meneliti. Kegiatan meneliti—kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis—adalah kegiatan yang menyenangkan karena selain dapat menghasilkan sebuah teori atau memecahkan persoalan praktis, dengan meneliti dapat pula memengaruhi pola pikir saya untuk lebih sistematis, kritis, dan objektif dalam menyikapi persoalan sehari-hari. Selain itu, menjadi seorang akademisi membuat saya belajar bijaksana, yang akhirnya dapat membuat saya menyikapi masalah tidak dari satu dimensi atau perspektif saja, tetapi juga melihatnya dari dimensi atau perspektif lain. Jika saya boleh memilih, saya ingin menjadi seorang akademisi yang juga berkecimpung dalam dunia pendidikan, baik sekolah menengah pertama ataupun menengah atas, karena dari keduanya saya dapat belajar banyak hal.
Yang saya perhatikan selama ini, banyak mahasiswa yang mahir dalam bidang studi yang dikuasainya, tetapi ketika menulis sebuah makalah atau skripsi, mereka terbata-bata menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat dipahami karena mereka tidak mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya dengan baik, hingga akhirnya ide cemerlangnya itu tidak tersampaikan kepada khalayak. Sangat disayangkan, bukan? Padahal fungsi bahasa yang mendasar adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa menjadi penjamin berlangsungnya interaksi antarmanusia. Dalam interaksi tersebut terjadi transfer ilmu pengetahuan, kebudayaan, nilai-nilai, dan norma-norma. Semua ini berlangsung dengan media bahasa. Tanpa bahasa, segala konsep abstrak itu mustahil akan dapat dikomunikasikan dengan baik. Bertitik tolak dari realitas tersebut, kita tidak bisa menganggap bahasa sebagai ilmu yang teoretis dan isolatif (yang terpisah dari ilmu-ilmu lain).
Berangkat dari pentingnya bahasa yang saya paparkan di atas, saya memiliki keinginan untuk membuat sebuah wadah dalam mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa, jika seandainya saya menjadi pengajar di tingkat universitas. Misalnya saja, membuat studi linguistik terapan seperti studi bahasa dalam ilmu hukum, studi bahasa dalam ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lain, dan mungkin saja dapat menjadi satu di antara kurikulum pendidikan. Ya, memang itu hanya sebuah keinginan kecil dari saya yang bercita-cita menjadi seorang akademisi.

Thursday, April 8, 2010

Orang Baru Lagi

Malam itu, aku bertemu dengannya. Diawali dengan perkenalan basa-basi. Biasa. Yang tidak biasa adalah kami mengobrol sampai pagi. Ah, bukan kami, melainkan aku yang tidak biasa mengobrol lama. Mungkin tidak bagi dia.
Dia orang yang kesekian yang berkenalan dengan cara yang sama. Yang berbeda adalah dia membuatku betah bicara berlama-lama. Ya, aku akan selalu betah dengan orang yang suka bicara. Tidak-tidak! Jangan anggap kami berbicara masalah serius yang menguras hati dan logika. Kami hanya berbicara masalah yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, apalagi sempat terpikirkan dalam keseharian. Akan tetapi, obrolan yang tidak penting itu tetap mampu menguras logika, terutama menguras logikanya dalam berkata-kata. Hahaha...
Cukup cerita awal-perkenalan kami karena tugasku di sini terpaksa bercerita tentang dirinya. Sekali lagi kukatakan TERPAKSA! :) (sebenarnya aku ingin pakai kata “dipaksa”, yang artinya setelah kata itu akan selalu muncul si pelaku. Aku tidak mau saja membuatnya merasa berdosa. Jadi kuurungkan niatku. hahaha...)
Hemphhh...Sebentar kuambil napas dalam-dalam dulu. Aku perlu waktu menggabungkan pengalaman bersamanya dengan puluhan kata untuk mendeskripsikan dirinya.
Baiklah, aku mulai. Kunamakan dia di phonebooks ponselku dengan nama Joe Ga untuk membedakannya dengan dua nama Joe—dua nama temanku yang juga tersimpan di sana. Kalau kamu mengira itu singkatan dari nama Joe Ganteng, kamu SALAH BESAR! Hahaha... itu hanya singkatan dari nama & marganya.
Kalau aku katakan dia orang baik, itu terlalu biasa. Karena pada hakekatnya, semua manusia memang terlahir dengan sifat baik. Yang tidak biasa darinya dibanding lelaki-lelaki lain, misalnya, dia tergolong orang yang suka bercanda, suka bicara, dan terbuka. Jarang kutemui lelaki seperti itu. Aku berkata demikian karena itu yang kutangkap dari keseharian berhubungan dengannya walau hanya lewat pesan. Ia tidak malu ketika butuh pendapat bagaimana cara mengirim pesan ke orang yang disukainya; ia tidak berkeberatan dengan kebiasaan-kebiasaanku yang dianggap tabu untuk ukuran perempuan normal hahaha...; ia tidak mudah tersinggung ketika suatu hari kuceletuki dia dengan sebutan kambing, kaum duafa, cowok lebay, kuli, dan banyak ejekan lainnya..wekss...; ia suka memberi perhatian berlebih padaku untuk ukuran sebagai seorang teman; ia suka berhalusinasi kalau kami telah punya ikatan batin...wkwkw...; ia suka berimajinasi bahwa aku berkepala peang karena ia kerap memanggilku yank...jiakakaka; ia...........
Kuhentikan dulu deskripsinya sampai di sana karena aku kehabisan kata. Nanti akan kusambung kembali ketika aku sudah mengenalnya lebih lagi.
Satu hal yang pasti, aku menyukainya. Tidak, aku tidak menyukainya lalu lantas berhasrat menginginkannya. Mungkin sukaku ini namanya “suka tanpa pamrih”—menyukai lelaki bukan karena menginginkannya menjadi milik kita, tetapi menyukainya karena dia manusia yang layak disukai seperti manusia-manusia lainnya. Sama juga seperti menyukai makhluk hidup lain, misalnya kambing. (lho?!)hehehe...


Jika dari ceritaku ini akhirnya kamu berhasrat ingin mengenal temanku yang satu ini, buka saja link ini
http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=789519669#!/joe.sinaga?v=info&ref=ts

Satu pesanku, berdoalah sebelum membuka link ini karena kita tidak pernah tahu akan musibah apa yang nantinya akan menimpamu. Wkwkwkw....

Tuesday, April 6, 2010

Ini Bukan Mimpi

Pagi ini wanita itu memelekkan mata seperti biasa. Tapi, ia teringat kalau hari ini hari Sabtu. Buat apa memelekkan mata seperti biasa di hari Sabtu, pikirnya. Lalu ia pejamkan kembali matanya. Tak terasa satu jam telah berlalu. Kembali ia terbangun. Kali ini ia terbangun karena mimpi, mimpi terlambat bangun pagi. Ia melekkan mata lagi dan melihat dari celah gordin bahwa mentari telah menyala di luar sana. Ini sudah tak pagi lagi. Ia lihat waktu di ponsel yang tergeletak setiap pagi di samping bantalnya. Sudah tak pukul lima lagi. Tapi, terpampang di ponselnya kata Saturday. Ya, ini hari Sabtu. Dan ia bernapas lega. Ternyata ia tidak telat bangun pagi. 
 Ia mulai membangunkan diri. Membuka gordin setengah dari lebarnya. Menerobos cepat cahaya, menyilaukan mata. Lalu mematikan lampu yang menemani tidurnya. Ia kembali ke kasur yang tak berdipan dengan kaki bersila. Rasanya hari ini lega karena ia tak perlu bangun pukul lima pagi. Lebih baik ia tidur lagi menuntaskan hasrat tidak perlu bangun pagi.
Di mimpi waktu berlalu dengan cepat. Sekali lagi ia bermimpi telat bangun pagi. Ketika terbangun dan mencerna lagi, kembali ternyata itu hanya mimpi. 
 Matahari sudah semakin terlihat mengganas dan hari sudah mulai panas. Mata wanita itu sudah tak ingin lagi diajak terpejam. Ia ambil remote control yang selalu ada di sebelah bantal bersama ponsel dan memencetkan tombol empat. Ia suka acara program di tombol empat. Terlihat di layar kaca seorang wanita sedang sibuk memperagakan cara memasak cokelat. Terlihat cokelat batang dicacah tak sama rata lalu diletakkan di mangkuk kaca yang katanya tahan panas. Mangkuk itu lalu diletakkan di atas wajan terisi air dan cokelat meleleh lambat-lambat. Menontonnya, air liur wanita itu ikut meleleh.
 Ini acara kesukaannya setiap ia bangun. Dan, selalu tepat waktu ketika ia bangun dan memencetkan tombol empat remote control-nya dengan ajaib acara yang sama setiap hari muncul. Ah bukan, hanya hari Sabtu. Ya, hanya hari Sabtu ia lihat acara wanita pemasak itu. Seperti biasa, ia habiskan hari Sabtu di atas kasur. Menonton acara yang selalu sama di teve kecilnya. Setelah selesai acara wanita pemasak, sekarang gantian teve menampilkan Si Bapak Tua yang diberkahi mencicipi makanan dari segala pelosok negeri. Si Bapak Tua itu selalu membuat ia iri. Ia ingin juga bisa mencicipi makanan dari segala negeri. Tapi, mana mungkin karena ia selalu bangun jam lima pagi dan selalu menghabiskan waktu di tempat yang sama setiap hari. Tak apalah, biasanya energi iri itu ia tumpahkan dengan cara membeli lontong sayur di penjual depan rumah lalu memakannya ketika Si Bapak Tua sedang asyik mencicipi makanan dan mengomentarinya seolah dengan rasa nikmat tiada dua. Ia rasai lontong sayur itu seperti makanan yang dicicipi Bapak Tua di teve. Iri lumayan terobati.
 Habis sarapan pagi, habis pula acara Si Bapak Tua. Teve melanjutkan acara lain yang tidak menarik hatinya lagi. Kembali ia rebahkan diri dan mulai memejamkan mata karena kantuk mulai menyerang ketika ia sudah kenyang. Ah, sial. Ia bermimpi hal sama lagi. Sekali lagi ia bermimpi telat bangun pagi. Kali ini ditambah dengan gerutunya. Ia jadi benci tidur hari ini. Lalu ia bangun dan berpikir. Tidak, bukan tubuhnya yang bangun. Hanya mata dan pikirnya. Mungkin karena aku terlalu takut terlambat masuk kerja setiap hari, makanya aku jadi takut terlambat bangun pagi, pikirnya. 
 Tubuhnya telah mengikuti ritmenya. Dengan sendirinya mata terbuka setiap pukul lima pagi, malah selalu mendahului alarm ponsel yang berdering tepat waktu. Sering ia matikan alarm itu sebelum berbunyi. Ia sendiri baru sadar bahwa tubuhnya ajaib. Tubuhnya mampu mengalahkan alarm itu. Pikirnya sambil menatap langit kamar.
Biasanya setelah bangun pukul lima pagi, kunyalakan dispenser. Dalam penungguanku selama lima belas menit sebelum air mendidih, biasanya berbaring lagi memeluk guling. Lumayan menambah jatah memejamkan mata barang semenit. Setelah sadar diri, kuambil nasi dan lauk yang kusiapkan tadi malam. Makan. Dan, diakhiri minum air hangat hasil penungguanku. Mandi. Bersiap diri. Dan pergi. Pulang-pulang kulihat jam sudah pukul lima lagi. Berganti pakaian dan merebahkan diri. Bangun-bangun kamarku menggelap karena di luar matahari telah terlelap. Kubangunkan diri tanpa ada air membersihkannya barang seelap. Kuambil nasi dan lauk yang kubeli ketika perjalanan pulang tadi. Makan lagi. Mengambil remote control dan membiarkan suara-suara dari teve bergema sendiri karena kusibuk menyiapkan materi dan itu-ini untuk besok lagi. Itu rutinitasku tiap hari, ceritanya dalam hati sambil terus menatap langit kamar.
Kini ia bangunkan tubuhnya. Ia duduk tetap menetap dan menatap lantai kamarnya. Terkejut ia. Didapatinya helaian-helaian rambut di sana-sini, bercak totol-totol hitam seperti tai lalat melekat di lantai dekat meja kecil samping kasurnya. Di atas meja kecil itu ia lihat tumpukan file berkisar empat puluh centi tersusun tidak rata. Di samping tumpukan file itu dilihatnya bedak tabur, beberapa botol parfum, obat penyubur rambut, lotion, krim pagi, krim malam, satu paket seperti dompet tempat pemulas mata, pipi, dan bibir. Alas bedak, krim pengencang payudara, pelentik bulu mata, maskara berbagai warna, dan banyak lagi alat yang dipakaikan ke tubuhnya sampai ia sendiri berpikir bahwa begitu banyak alat yang ia jadikan topeng untuk menutupi keadaan sebenarnya. Ah, tidak, itu dilakukan hanya karena tuntutan profesi. Tiap hari aku akan dilihat oleh puluhan mata. Bukan hanya materi yang akan didengar mereka. Mau tidak mau, mereka akan melihat penampilan si pemateri itu juga, pikirnya melawan pendapatnya sendiri.
Matanya kemudian menerawang ke arah debu yang menempel di atas meja tempat monitor komputernya. Di bawah meja itu, terdapat tiga tingkat rak buku, bukan, rak kertas tepatnya, yang tersusun asal saja. Di bawah kolong rak itu, debu menempel dan beberapa mengintip dari sudut-sudut kaki meja. Ada pula debu yang terhampar tanpa malu bersama dengan helaian rambut berbaur jadi satu. Belum lagi lantai kamar mandi yang ia bayangkan bagaimana menguningnya karena lama tak disikat. Inilah hasil kerjanya berhari-hari.
Lalu ia pun teringat dahulu. Ia masih suka bersih-bersih. Bahkan sering ia mencuci. Sekarang alih-alih mencuci, setiap jumat malam ia selalu ke laundry. Ya itu dahulu ketika ia masih mahasiswi. Banyak waktu yang ia punyai. Tapi kini tidak lagi. Kembali ia rebahkan diri. Tidak, ia tidak menyesali diri. Mungkin beginilah kaum pekerja yang sudah tidak punya waktu mengurus itu-ini. Bahkan untuk memikirkan diri sendiri. Hanya hari ini dan besok aku bisa habiskan waktu untuk memejamkan mata lebih lama dari biasa dan membiarkan tubuh terlena sementara, setelah itu rutinitas menanti seperti biasa. Katanya dalam hati.
Lalu ia tertidur lagi dan berharap tidak mimpi bangun jam lima pagi.

Dago, Maret 2010 
(based true story) 




 

Friday, April 2, 2010

Duo Maia Berselingkuh


Duo Maia yang dulu akrab dikenal dengan nama Ratu, adalah ratu di kancah musik Tanah Air. Kehadirannya mampu menarik perhatian kita pada musiknya yang tidak melulu menggaungkan tema cinta sejati. Malahan, tema lagu milik Duo Maia yang mulanya lebih menggaungkan tema perselingkuhan itu, kini diikuti jejaknya oleh para musisi lain. Sejak kemunculannya di album pertama, cinta sejati antara dua insani bukan tema utama bagi Duo Maia. Ia lebih tertarik pada kenyataan di sekelilingnya bahwa ada cinta erotis—yang melihat cinta semata-mata sebagai ungkapan naluri seksual—sebagai tema dari kebanyakan lagu-lagunya. Tema ini dikemasnya dalam balutan musik centil dan lirik yang menyentil mengenai cinta dan perselingkuhan.

Lagu dari album pertamanya yang berjudul Jangan Bilang Siapa-Siapa bercerita tentang seorang perempuan yang menyukai pria yang baru ditemuinya dan melanggengkan cinta erotis yang dimilikinya itu tanpa peduli bahwa ia masih milik pria lain. Liriknya tidak terlalu sulit dipahami. Perjumpaan (kala jumpa dirinya), kepemilikan (kusudah ada yang punya), senyum penuh arti (kuberi senyumku kepadanya dan kau tahu maksud hatiku), perkenalan singkat (kau tanya siapa namaku), perjanjian diam-diam (dan kita berjanji tuk jumpa lagi tanpa ada teman tanpa ada yang tahu kita suka), pengalaman seksual tersembunyi (setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku), kebohongan (aku ingin kau tak tahu bahwa kusudah ada yang punya), ketertarikan lawan jenis lewat “paket diri” yang menarik (menebar pesona ke insan pria, pasti ada satu-dua lelaki yang ‘kan suka), pencarian cinta (manusia tak pernah berhenti mencari yang didambakannya), dan keeksklusifan cinta (kuhanya manusia yang menginginkan satu pria saja yang terbaik dalam hidupku)—semua rangkuman dari lirik itu menggambarkan esensi bahwa cinta dipandang semata-mata sebagai hasil dari reaksi emosional yang spontan, yang seketika diikat oleh perasaan terpukau pada lawan jenis. Cinta dipandang semata-mata sebagai soal kepemilikan diri atas orang lain atau pun sebaliknya.

Menilik lirik lagu Duo Maia tersebut, tidak ada ruang untuk janji dan komitmen, untuk mencintai selamanya atau untuk cinta sejati. Cinta bagi Duo Maia hanyalah sebuah perasaan yang suatu ketika dapat lenyap dan jika cinta itu sudah lenyap, tinggal kembali lagi mencari lawan jenis yang mempunyai “paket diri” yang menarik (bisa berupa paket prilaku yang laku di pasar kepribadian—baik, ramah, perhatian—atau paket “kemasan diri” yang laris di pasar pencitraan tubuh—cantik, seksi, tampan, dll), yang dapat membuatnya “jatuh cinta”—yang didefiniskan oleh seorang psikoanalisis Eric Fromm sebagai hasrtat yang mampu meruntuhkan dua pribadi yang masih asing untuk saling melebur diri dalam ikatan emosional dengan penyimpulan instan, bahwa mereka saling mencintai karena mereka menghendaki satu sama lain secara jasmaniah.

Lalu judul lagu lainnya, Teman Tapi Mesra, tak kalah heboh daripada lagu pendahulunya. Bahkan sejak awal kemunculannya, judul lagu ini pun kerap dipakai sebagai bahasa baru oleh masyarakat, yang kita kenal dengan singkatan hubungan TTM. Pada lagu Teman tapi Mesra juga menyiratkan hal serupa. Liriknya menceritakan ketertarikan lewat “paket diri” lawan jenis (dia anak manis dan juga baik hati, dia slalu ada waktu untuk membantuku), kebimbangan (namun aku bingung ketika dia bilang cinta), kepemilikan (dan dia juga katakan ‘tuk ingin jadi kekasihku; aku memang suka pada dirimu namun aku ada yang punya), dan hasrat seksual (‘ku tak mungkin mencintaimu, kita berteman saja, teman tapi mesra)—sekali lagi dapat dipresentasikan bahwa cinta hanyalah sekadar hal kepemilikan dan hal menghendaki lawan jenis lewat “paket diri”, baik secara emosional maupun jasmaniah.

Dari dua lirik lagu tersebut, ada kelinearan mengenai persepsi cinta menurut Duo Maia—atau lebih tepatnya menurut si penulis lagu yang sekaligus sebagai personilnya, Maia Estianty. Hasrat seksual begitu lugas terbaca dalam lirik lagunya. Hasrat seksual itu dirangsang oleh berbagai bentuk emosi yang kuat, bisa berupa ketertarikan pada “paket diri” lawan jenis ataupun keinginan untuk memiliki “paket diri” lawan jenisnya itu, serta penyatuan dua pribadi lewat hubungan jasmani. Hasrat seksual terkamuflasekan atau tersamarkan dengan baik lewat pengertian tentang “cinta”.

Bagi penulis lagu tersebut, cinta yang semata-mata hadir karena adanya pengalaman keintiman antara dua individu (setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku; kita berteman saja, teman tapi mesra), hanyalah bersifat jangka pendek. Perselingkuhan dapat dicurigai sebagai ketidakpuasan pengalaman keintimannya dengan lawan jenis. Ketika seorang individu sudah bosan dengan pengalaman keintimannya dengan satu lawan jenis, seseorang tersebut akan mencari cinta dengan pribadi baru, dengan orang asing yang baru. Lagi-lagi karena ingin merasakan pengalaman keintiman dan pengalaman cinta yang berbeda, atau bisa jadi karena ketidakpernahpuasan dengan satu pribadi saja. Lalu kalau intensitas pengalaman itu berkurang, akan berujung pada keinginan akan penaklukan yang baru lagi, pengalaman keintiman yang baru lagi, dan cinta yang baru lagi (manusia tak pernah berhenti mencari yang didambakannya).

Pada dua lagu tersebut, tergambarkan pula adanya keterbukaan seksualitas perempuan. Keterbukaan seksual ini berbeda dengan zaman sebelumnya yang dianggap menceritakan pengalaman seksualitas perempuan adalah suatu hal yang tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan. Di zaman dengan budaya yang terus berkembang, pengalaman seksual bukan lagi suatu hal yang tabu melainkan hal yang dapat dengan biasa diperbincangkan, layaknya cinta. Begitu pula dengan perselingkuhan. Bagi Duo Maia itu adalah hal biasa, tidak perlu repot-repot mempertimbangkan “sistem dosa”. Entah itu karena pengaruh modernisme yang terus berkembang(?) atau karena ketidakpahaman tentang suatu hal yang paling mendasar, yakni hakekat cinta(?), atau bisa jadi, Duo Maia sengaja menggunakan “cinta” untuk menyamarkan hasrat seksualnya(?). Kini, terserah Anda ingin menanggapinya bagaimana.

Jatinangor, 19 Maret 2008


Wednesday, March 31, 2010

Keresek

Jangan pakai keresek! Pernah mendengar larangan seperti itu? Tentu pernah, meskipun tidak persis sama karena yang sering terdengar dan didengungkan berbunyi, “Don’t use plastic bags!” atau “Say no plastic bags!”. Ya, itulah bahasa kampanye di negara kita sekarang. Untuk satu peningkatan kesadaran tentang lingkungan hidup seperti pemanasan global, kita perlu berkampanye dalam bahasa Inggris. Menarik bukan?

Pemanasan global pada hakikatnya berdampak pada setiap orang di muka bumi ini. Oleh karena itu, kampanyenya tentu ditujukan pada semua orang juga. Maka kampanye dalam bahasa Inggris di Indonesia menyadarkan saya bahwa ia ditunjukkan pada kelompok tertentu saja, atau mungkin juga ada makna lain dari kampanye berbahasa Inggris itu?

Kampanye antikeresek ini bukanlah satu-satunya kampanye sosial yang berbahasa Inggris. Belum lama ini, misalnya, ada kampanye peningkatan kesadaran tentang hak penderita Aids dengan slogan “take the lead”. Hal ini mungkin terjadi karena kampanye seperti ini merupakan bagian dari kampanye yang lebih besar dan bersifat internasional. Oleh karena itu, pemakaian bahasa Inggris tak dapat dihinari. Nah, itu makna pertama.

Makna lain dari berbahasa Inggris adalah kemungkinan sasaran kampanye memang terbatas. Artinya, kampanye ini ditujukan pada kelompok masyarakat yang paham atau terbiasa dengan bahasa Inggris seperti kelas menengah atas, kelompok terdidik, atau remaja. Ini bisa kita lihat dari keterlibatan media cetak yang beramai-ramai menambahkan bonus kantong belanja kain yang bisa didaur ulang, misalnya. Makna ini juga menyiratkan keterlibatan kelompok pemilik modal dalam kegiatan sosial tetapi tentunya dengan tetap menangguk keuntungan.

Hal lain dari pemakaian bahasa Inggris adalah aspek prestise. Pemakaian bahasa Inggris lebih dianggap bergaya dan menjual, apalagi bagi para remaja. Sebagai pangsa pasar potensial, remaja menjadi sasaran kampanye. Remaja dan keremajaan mensyaratkan kemutakhiran, tren, dan kedekatan dengan dunia yang global (bukan lokal). Oleh karena itu, kampanye dalam bahasa Inggris jauh lebih pas. Padahal, dengan mempertimbangkan kreativitas bangsa Indonesia, stiker berbahasa Indonesia, Sunda, atau bahasa lokal lain pasti juga akan menarik dan menjual.

Bahasa inggris untuk remaja kemudian menyiratkan makna lain juga, misalnya kampanye ini adalah juga arena untuk bergaya. Remaja ramai menyandang tas-tas antikeresek. Akan tetapi, kampanye ini lalu menjadi superfisial yang sekadar polesan. Tas “I’m not a plastic bags” disandang mereka sambil memakan cireng dari kantong keresek.

Jadi, untuk siapa dan untuk apa kampanye-kampanye berbahasa Inggris itu? Di satu sisi, kita melihat kesadaran-kesadaran yang diangkat lewat kampanye seperti ini. Di sisi lain, kita melihat ironi pelaksanaannya. Apabila kita pikirkan ada kemungkinan (sayang saya tidak punya data) bahwa pemakaian keresek justru sangat gencar di kalangan pedagang kaki lima, misalnya, karena membeli apa pun di kaki lima hampir dapat dipastikan akan dimasukkan ke dalam kantong keresek. Apakah mereka juga sasaran kampanye ini? Akan saya coba berkampanye kalau membeli rambutan nanti, akan saya katakan pada Aa tukang rambutan, “A, don’t use the plastic bag please...”

Beranda Anda

Cahaya kemerahan di angkasa sebelah timur mengantarkan bulatan matahari muncul perlahan. Cahayanya menyilaukan, menembus dahan, menelusup pepohonan. Merenggut malam dengan dendam karena begitu lama ia harus menunggu untuk keluar dari peraduan. Harum tanah basah sisa semalam sedap dihirup dan akan selalu ingin dihirup bila sudah kecanduan. Seperti halnya di beranda itu, tengah duduk seorang perempuan. Ia kecanduan. Bukan karena harumnya tanah basah, melainkan candu duduk di beranda karena baginya begitu menyenangkan.

Tidak ada tempat lain yang begitu membuatnya kecanduan selain beranda rumahnya yang berada di sebelah depan. Ia dapat duduk sesukanya dari pagi, siang, hingga malam. Tetapi, tentunya tidak ditemani dengan secangkir kopi dan selembar koran. Bukan tanpa alasan. Baginya, kopi hitam hanya cocok untuk lelaki, bukan perempuan. Retinanya juga sudah tua dimakan usia. Ia lebih suka duduk di beranda ditemani secangkir teh hangat dengan pisang goreng sebagai cemilan, apalagi duduk di bagian paling kanan. Baginya sangat menyenangkan yang takkan bisa tergantikan oleh kopi dan selembar koran.

Hampir separuh usianya dihabiskan duduk di berandanya. Dengan guratan wajah yang takkenal lelah, ia duduk seperti seseorang yang sedang meratap. Pandangannya lurus tetap. Orang-orang yang lewat takluput untuk ditatap. Siapa tahu, satu dari orang-orang itu dapat membuat mata sayunya menjadi gemerlap. Menatap pujaannya dengan lekat, mengulurkan tangannya cepat, agar pujaannya takhanya hinggap tapi tinggal untuk menetap.

Garis bibirnya begitu kentara. Tersenyum hampir seperti tertawa. Beranda baginya tempat yang pas untuk menghabiskan waktu usia. Ya, ia sudah tua. Sudah pula lama menjanda. Kerjanya hanya duduk-duduk di beranda. Ia tidak mungkin mencuci dan menyeterika karena itu pekerjaan perempuan dewasa, bukan perempuan tua. Ia sadar tubuhnya sudah renta.

Dari seberang rumah perempuan tua yang ber-beranda, hampir tiap hari aku bisa melihat wajah tuanya. Setiap pagi, siang, sore, atau malam. Setiap hari aku bisa melihatnya. Ketika aku bangun pagi, aku melihatnya lewat jendela yang kubuka. Ia seperti matahari yang setia menyambut dari balik jendela. Ketika siang menjelang sampai ketika aku pulang kerja petang, ia tetap setia duduk di sana walaupun matahari sudah siap menutup wajahnya. Ketika kututup jendela kamarku karena malam telah begitu larut, ia belum juga surut. Tetap duduk memagut. Merengut. Ya…setiap malam larut, wajahnya akan berubah, cemberut. Garis bibirnya tidak lagi kentara untuk tertawa. Mungkin, baginya hari ini ia duduk sia-sia.

Suatu pagi di hari Minggu, kuberanikan diri menuju beranda, tempat setiap hari duduknya perempuan tua. Kupilih pagi hari karena aku tahu pasti wajahnya masih berseri. Kusapa dia, kutanya bagaimana kabarnya hari ini. Sekadar basa-basi. Taklupa aku tersenyum berseri. Aku begitu ingin tahu pasti mengapa ia gemar duduk di beranda melihat jalanan sepi.

“Saya selalu melihat Anda di beranda. Tampaknya Anda begitu suka.”

“Ya.”

“Boleh tahu mengapa?”

“Untuk apa?”

“Ng…ya hanya sekedar berbagi cerita.”

“Saya suka di beranda. Ruang beratap terbuka. Duduk santai dengan kedua kaki tergontai. Apalagi menikmati hempasan angin dari beringin.”

Wajahnya tidak berekspresi. Padahal ia berbicara dengan perkataan yang seharusnya dilengkapi dengan ekspresi seringai. Ternyata, ia begitu dingin. Mungkin terlalu sering menikmati hempasan angin dari pohon beringin.

*

Pagi yang sama seperti kemarin, ketika cahaya matahari mengintip di atas angin, kuberanikan kakiku melangkah menuju rumah ber-beranda milik perempuan tua. Aku masih penasaran. Ingin tahu ia lebih dalam. Kali ini, kubawa pisang goreng hangat sebagai cemilan. Kutatap dari seberang jalan, wajahnya lagi kasmaran. Ya…aku tahu memang, setiap pagi wajahnya akan terlihat begitu kasmaran. Berseri senang. Tanpa beban. Aku harap kali ini aku mujur. Ingin sekali rasanya ia berkata jujur.

“Pagi. Boleh saya berada di beranda Anda?”

“Anda sudah di sini. Tidak usah basa-basi.”

“Maaf. Oh ya, ini ada pisang goreng hangat sekedarnya buat sarapan pagi. Ini buatan saya sendiri. Kebetulan, seminggu ini saya cuti. Lalu karena naluri, saya iseng masak pisang goreng ini. Mohon dinikmati.”

“Anda baik sekali. Tapi maaf, saya lagi tidak ingin makan pisang goreng ini. Mungkin nanti.”

“Baiklah. Ng…boleh saya mengobrol dengan Anda di sini? Rumah saya sepi.”

“Ya, dapat saya lihat dari sini kalau Anda tinggal sendiri.”

“Anak perempuan Anda tampaknya sudah pergi kerja?”

“Ya, barusan saja.”

“Siapa namanya?”

“Cermin.”

“Nama yang unik. Mengapa Anda memberi nama Cermin? Padahal banyak nama-nama untuk perempuan yang indah-indah, ada Mery, Santi, Tuti, Wati, Sandy, atau Anjeli.”

“Tapi belum ada yang menggunakan nama Cermin, bukan?”

“Ya. Benar juga. Apakah ketika kecil dulu, anak Anda tidak mengeluh malu karena namanya Cermin, nama sebuah benda?”

“Mengapa ia mesti malu? Mery, Santi, Susi, atau Anjeli juga nama dari sebuah benda yang rujukannya manusia, sama seperti Air, Cangkir, atau Pasir, semuanya benda. Hanya bedanya manusia adalah benda yang dapat bergerak.”

“Maaf kalau saya berkata seperti itu karena saya dulu pernah malu karena nama saya juga diambil dari nama sebuah benda. Sering saya dihina oleh teman-teman sebaya.”

“Memangnya nama Anda siapa?”

“Baru saja Anda sebutkan. Nama saya Air. Airwangi.”

“Nama Anda bagus, mengapa mesti malu?”

“Itu ‘kan dulu ketika saya masih lugu.”

“Mungkin Cermin juga begitu. Mungkin dulu dia malu. Entahlah. Aku tidak tahu. Dia tidak pernah memberi tahu.”

“Bagaimana dia bisa memberi tahu kalau dia malu, kulihat Anda setiap hari hanya duduk di beranda ini.”

Ia terdiam. Tidak sedikit pun bergumam. Sepertinya, aku telah salah memilih kata. Lama jeda. Ia belum juga buka suara. Tampaknya ia tidak suka. Baru beberapa menit kami telah dapat mengobrol santai tapi hanya dengan beberapa detik aku membuat obrolan santai itu jadi hancur tercerai-berai. Kupandangi wajahnya dengan mengintai. Mungkin ia akan menanggapi perkataanku barang seuntai. Ah, aku hanya berandai. Satu kata pun tetap tidak terurai. Aku pamit mengundurkan diri dari beranda ini dengan langkah lunglai.

*

Hari berikutnya di pagi yang sama seperti kemarin. Aku masih ingin mengunjungi perempuan tua itu dalam berandanya. Agar terkesan alami, pura-pura aku membeli bumbu dapur pada abang tukang sayur, yang gerobaknya setiap pagi selalu tepat berada di depan beranda perempuan tua.

“Pagi. Kuharap kabar Anda baik hari ini.”

“Saya akan selalu terlihat baik di pagi hari.”

“Boleh tahu mengapa?”

“Karena pagi bagi saya adalah harapan dari mimpi. Siapa tahu di pagi ini ada mimpi yang diharapkan bisa didapati.”

“Begitu. Oh ya, maaf atas kata-kata saya kemarin yang tidak begitu berkenan.”

“Yang mana? Saya sudah lupa. Saya akan selalu melupakan semua hal yang terjadi kemarin.”

“Kalau Anda suka melupakan hari kemarin, mengapa Anda masih dan terus duduk di beranda ini sejak kemarin-kemarin? Apa Anda tidak punya kegemaran yang lain?”

“Saya memang suka melupakan hal yang terjadi kemarin tapi tidak satu hal yang terjadi dulu. Dulu sekali, sebelum kemarin-kemarin. Satu hal itulah yang membuat saya duduk di beranda ini.”

Rasanya tidak mungkin jika saat ini aku menanyakan apakah satu hal itu. Sepertinya tabu. Aku takut ia terganggu. Kalau aku tanya, jangan-jangan ia berubah jadi gagu. Bisa pula bisu. Tampaknya, satu hal yang dulu itu begitu membuat hatinya membelenggu. Nanti sajalah, jika kami sudah agak menyatu.

“Maaf jika saya sering mengganggu di beranda Anda. Saya sudah lima tahun di sini dan sudah beberapa kali mendapat cuti. Biasanya saya pergunakan untuk berpelesir, pergi menyendiri. Tapi kali ini saya ingin menghabiskan cuti tujuh hari di sini. Mengenal lingkungan dan tetangga-tetangga di sini.”

“Tapi mengapa Anda dari kemarin hanya mengunjungi beranda ini?”

“Karena hanya Anda yang terlihat di beranda rumahnya. Tidak kutemukan lagi seseorang yang sedang duduk di berandanya sejak pagi kemarin, pagi ini, mungkin pagi berikutnya. Anda tahu, Andalah orang yang paling beruntung karena dapat duduk dan menikmati angin di beranda rumahnya. Banyak orang yang begitu sibuk paginya sampai taksempat merasakan beranda rumahnya, atau begitu lelah sorenya karena terlalu banyak bekerja hingga takingin untuk sekedar duduk-duduk di berandanya. Contohnya, ya seperti saya ini. Ternyata duduk di beranda begitu nikmat. Melihat orang-orang dengan membawa pikirannya masing-masing, memperhatikan gerak-gerik mereka, bisa memandang begitu ragamnya manusia yang tercipta, juga tingkah laku mereka, sangat menyenangkan. Dan, saya baru tahu ini semua dari beranda Anda. Akhirnya saya bisa mengerti mengapa Anda senang duduk berlama-lama di beranda Anda karena saya bisa merasakan kenikmatan yang Anda rasakan. Hahaha…Ah, maaf saya terlalu banyak bicara.”

“Heh, Anda ternyata belum dapat merasakan betul apa yang saya rasakan di beranda ini. Ya, setidaknya Anda ada benarnya, saya duduk di beranda ini memang selalu ingin melihat orang-orang berjalan melewati jalan itu. Tapi tujuan saya lebih dari itu, saya harus seteliti mungkin memandang orang-orang yang lewat, bagaimana rambutnya, bentuk wajahnya, dan postur tubuhnya. Siapa tahu…ng…siapa tahu…”

“Siapa tahu apa?”

“Ng…siapa tahu ada kerabat atau kenalan saya yang sudah lama tidak bersua. Saya ‘kan sudah tua, rindu bertemu dengan teman-teman lama.”

*

Siang, di hari berikutnya sesuatu terjadi. Saat itu aku sedang mencuci. Tiba-tiba dari arah jalan banyak orang meneriaki. Kudengar, ada yang meninggal, seorang tukang bakmi. Buru-buru kutinggalkan kamar mandi. Benar, kecelakaan baru saja terjadi. Kulihat di aspal jalan depan rumahku tergeletak seseorang yang punya gerobak bakmi. Ngeri.

Kutanya pada salah satu tetangga. Katanya, tidak ada yang tahu pasti siapa yang menabraknya. Dua orang pengendara masih saja saling tuduh. Masih tidak ada yang mengaku. Yang satu, pengendara mobil seorang diri datang dari sebelah kiri. Yang satunya lagi dari sebelah kanan, seorang pengendara motor dengan seorang istri. Mereka mengaku, bukan mereka yang membunuh. Tidak tahu siapa yang mesti disalahi. Dua pengendara dan para tetangga masih saja saling interogasi. Mereka tidak sadar kalau ada seseorang yang sudah mati.

Ah, aku bisa cari tahu kebenarannya. Tanya saja pada perempuan tua di berandanya. Pasti ia tahu siapa pelakunya. Tetapi, aneh. Tidak aku lihat perempuan tua di berandanya. Kemana dia? Apa ia berada di dalam rumahnya? Lalu mengapa ia di dalam? Seharusnya sepanjang waktu ia duduk di berandanya. Mungkin, ia sedang buang air besar. Itu alasan yang masuk akal. Kulangkahkan kaki menuju rumah yang ber-beranda tempat perempuan tua.

“Permisi. Permisi.”

Tidak ada sahutan. Aku masuk perlahan karena pintu tidak ada sekatan. Rumah ini nyaman. Di sana-sini banyak ornamen. Di meja tamu ada setoples permen. Toples berisi permen itu biasanya berada di beranda. Tetapi kali ini, mengapa toples permen itu berada di meja?

“Permisi.” Kulihat perempuan tua sedang duduk di meja makan tanpa makanan yang ruangannya terletak agak ke dalam.

“Mau apa ke sini?”

“Maaf, tadi pintu terbuka. Saya yakin, Anda pasti ada.”

“Mau apa?”

“Tumben Anda tidak duduk di beranda. Tadi pagi saya lihat di beranda, Anda masih ada.”

“Bukan urusan Anda.”

“Heran saja. Yang saya tahu, Anda adalah penghuni beranda Anda. Saya masih tidak percaya saja sekarang Anda di sini, tidak di beranda.”

“Terserah saya. Urusan saya di beranda sudah selesai. Anda belum jawab, Anda ke sini mau apa? Hanya mau tanya mengapa saya tidak di beranda?”

“Bukan. Ehm, apa Anda tahu kalau di luar ada kecelakaan?”

“Suara-suara bising orang bertengkar dan teriakan tetangga, bagaimana tidak terdengar sampai ke rumah saya.”

“Waktu kecelakaan terjadi, Anda masih di beranda Anda?”

“Ya.”

“Anda pasti tahu siapa yang menabrak tukang bakmi sampai mati?”

“Tidak.”

“Tapi bukannya Anda pernah cerita kalau Anda begitu teliti melihat satu-satu orang yang lewat di jalan itu?”

“Ya.”

“Lalu mengapa Anda katakan Anda tidak tahu siapa yang menabrak tukang bakmi sampai mati?”

“Karena saya lebih tertarik kepada seseorang. Seorang teman lama yang akhirnya saya temukan. Tadi, dia ada di sana. Akhirnya saya temukan dia di sana. Ya, akhirnya sekarang saya tidak perlu beranda.”

“Mengapa?”

“Karena saya sudah menemukannya.”

“Jadi itu alasan Anda setiap hari duduk di beranda? Untuk menemukan seorang teman lama saja?”

“Ya.”

“Lalu mengapa seorang itu sekarang tidak ada bersama Anda? Apa kalian tidak bertegur sapa dan mengenang masa?”

“Saya…saya…sadar. Saya tidak perlu teman lama. Apalagi untuk mengenang masa. Sudah dua puluh lima tahun saya di beranda. Dua puluh lima tahun saya mengenang masa. Saya sadar, itu sia-sia. Tiap pagi saya selalu punya harapan baru untuk mimpi saya, yaitu bertemu dengan teman lama. Siang hari saya masih setia menunggunya. Sore hari saya menyisakan harapan itu. Tapi ketika malam, sisa harapan itu makin tenggelam. Suram. Saya sadar, itu sia-sia. Seorang teman lama itu tidak akan mungkin mengingat saya. Tidak akan mungkin karena dia sudah bersama perempuan lain. Untung saya masih punya Cermin. Saya bisa melihat teman lama itu dalam Cermin. Tapi seringnya, saya mau teman lama itu nyata, bukan lewat Cermin.”

Ia menangis. Perempuan tua itu menangis. Baru kali ini ia banyak bicara.

“Apakah teman lama itu suami Anda?”

“Iya. Tidak. Iya. Tidak sekarang. Iya dulu. Ah, iya dulu. Iya sekarang. Tidak penting karena dia sudah bersama perempuan lain.”

“Kalau Anda mau teman lama itu nyata, mengapa tidak Anda sapa?”

“Buat apa kalau ternyata dia tidak mengingat saya. Saya itu idiot. Saya tidak berani menatap teman lama saya lekat, mengulurkan tangan saya cepat agar teman lama saya tidak hanya hinggap tapi tinggal untuk menetap. Saya gagap. Tapi saya sudah yakin, sekarang saya tidak perlu di beranda untuk bertemu dengan teman lama. Saya hanya butuh Cermin. Oh tidak! Suara teman lama itu masih terus terdengar di telinga saya. Saya tidak mau mendengarnya. Saya tidak mau mendengarnya. Aaa…”

“Itu hanya halusinasi Anda.”

“TIDAK! Suara itu nyata. Teriakan itu nyata. Makian itu nyata karena dia nyata di depan sana bersama perempuannya. Saya menemukannya. Saya yakin, ketika dia membuka helmnya, dia seseorang yang pernah menjadi teman saya. Dia yang menabrak tukang bakmi itu sampai mati, dia adalah teman lama saya.”

21 Januari 2007

20.57 WIB