Sunday, April 25, 2010

Ironis

“Apakah kalian tahu apa itu patriaki?” Si pembicara sejenak berhenti setelah bertanya. Ia menunggu respon dari pertanyaannya. Semua hadirin diam. Diamnya hadirin bisa jadi karena dua hal. Pertama, kondisi hadirin yang mungkin sudah tidak nyaman dengan panas ruangan tanpa ventilasi, hanya ada kipas yang berputar lambat jauh di atas kepala. Terlebih acara seminar ini baru satu jam dimulai setelah mereka mendengarkan monolog-puisi yang kemungkinan besar tidak dimengerti. Ya, sekadar dinikmati. Alasan kedua, memang hadirin tidak tahu apa itu patriaki.
Hadirin yang hadir pada acara Parade Suara Perempuan sebagian besar adalah perwakilan siswa SMP dan SMA se-Bandung yang didampingi oleh guru mereka masing-masing. Mereka hadir di sana karena undangan. Yang saya pahami dari undangan itu siswa akan mendapatkan bagaimana cara menulis kreatif fiksi yang baik, yakni fiksi yang mencuatkan kehidupan sebagai refleksi. Tapi yang saya cermati, siswa yang saya pilih untuk ikut seminar ini merasa hanya disuguhi esensi membuat fiksi hanya kurang dari lima menit saja. Dan, tiga jam berikutnya mereka disunguhi monolog-puisi dan seminar biasa.
Saya katakan biasa karena seminar ini telah biasa saya dengar dulu ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Kata-kata pembicara tentang feminisme, gender, hegemoni, patriaki, eksistensialisme, sampai emansipasinya Kartini, sudah pernah saya lumat habis dari koleksi buku-buku saya. Dan, mendengar pembicara membahas masalah itu bagi saya sama seperti membaca ulang buku-buku tersebut. Akhirnya, saya mengikuti seminar itu dengan sikap sedikit menyepelekannya karena telah sok merasa tahu inti yang dikemukakan pembicara.
Lalu saya hanya mengamati gaya si pembicara. Ia adalah dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra di Universitas Pendidikan di Bandung ini. Sesekali ia memperbaiki rambut yang keluar dari kerudungnya. Ia berdiri sambil menatap power point yang terpampang jauh di kanannya. Wajahnya agak sedikit pucat, mungkin kelelahan.
Awalnya, ia sajikan data sebagai bahan analisisnya. Data diambil dari buku-buku Sekolah Dasar yang memperlihatkan bahwa perempuan selalu dipersepsikan sebagai pelaku domestik, dan lelaki dipersepsikan sebagai pelaku publik. Setiap satu data disajikan, pembicara akan bertanya pada hadirin apa maksud data itu.
Dilanjutkan menyajikan data dari koran. “Empat Gadis ABG Gagal Didagangkan ke Batam”, “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, sampai pada judul “Wanita Racun Dunia”. Ketika disajikan judul “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, anak-anak SMA yang duduk di belakang kami begitu menggebu sambil berdiri menyatakan ketidaksukaannya karena dari judul itu perempuan dikategorikan negatif. Tapi, adalah ironis saat saya lihat gaya siswi SMA yang berbicara itu tengah memperlihatkan sikap seksi, centil, dan penggodanya. Saya katakan seksi karena ia mengenakan seragam ketat dan saat berdiri menunjuk-nunjuk diri terlihat pusarnya ingin eksis juga. Sikap tubuh yang cekakak-cekikik mengartikan kecentilan mereka dan itu mampu menggoda lelaki di sana. Ya saya pikir wajar saja jika ada yang mengatakan “Wanita Racun Dunia”.
Sampailah pada akhir seminar. Tiga atau empat penonton diminta untuk memberikan kesannya ke depan. Kesan diakhiri dari seorang bapak berkumis.
“Ya, yang saya bisa tangkap dari seminar ini, kiranya wanita tidak malas untuk ke dapur.” Berhenti sejenak. Saya lihat air muka pembicara berubah. Dan, saya pun ikut terhenyak lalu tertawa hebat dalam hati.
“Tapi, laki-laki pun jangan malas untuk ke dapur.” Si bapak berkumis melanjutkan perkataannya. Pembicara terlihat sedikit lega karena ternyata setengah jam ia bicara tidak percuma.
Saya jadi bertanya, apa siswa-siswa yang tiga jam di ruangan tadi mengerti apa yang telah dipaparkan pembicara? Saya pesimis karena lingkungan tempat tinggal mereka belum tentu mendukung semangat penyetaraan gender yang digaungkan si pembicara tersebut.
Setidaknya, kesetiaan kami menyaksikan acara tanggal 24 April lalu itu pun tidak sia-sia karena satu anak saya beruntung mendapatkan sebuah buku bagus yang mampu mencerahkannya.

Friday, April 23, 2010

Kami Bukan Sekadar Tubuh

Dua hari yang lalu saya berbincang dengan kakak saya yang berjenis kelamin laki-laki. Dia kakak saya karena kami ditakdirkan dari satu rahim ibu yang sama. Tapi saya rasa, dia bukan kakak saya karena saya tidak tahu siapa dia. Mungkin ini akibat terlalu lama kami terpisah jarak—bukan jarak hidup memang, melainkan jarak tempat. Ya, itu rasa saya.
Ternyata jarak tempat sembilan tahun membuat saya semakin tidak mengenal dia. Salah satunya dari pembicaraan kami dua hari yang lalu, yakni tepat saat Indonesia memperingati hari Kartini. Ketika itu, setelah terlupakan kapan terakhir kami berbincang, kami berbincang lagi. Itupun tidak sengaja kami dipertemukan oleh media bernama facebook. Kukatakan sekali lagi, kami tidak sengaja mempertemukan diri untuk berbincang. Ini karena kami telah sibuk mengurusi dunia kami masing-masing.
Tetapi, dua hari lalu itu saya sedikit mengurusi dunianya. Tidak lebih karena saya ingin dia mendapatkan seseorang untuk teman hidupnya. Dan, saya pikir wanita ini ideal dengannya. Ya, ini mungkin keinginan kecil dari seorang yang sedang memosisikan diri sebagai adik. Saya kenalkan dia pada seorang sahabat saya agar dia mau mengenalnya lebih baik. Tetapi, responnya mengejutkan saya.
“Bekas.” Satu kata itu membuat saya terintimidasi, padahal saya tahu itu bukan ditujukan pada saya. Tapi, saya sebagai wanita telah terintimidasi. Lalu, dari sana saya mulai berpikir dengan nalar sederhana saya.
Bekas. Menurut saya ini bermakna satu hal atau benda yang tersisa atau yang telah terpakai; satu hal atau benda yang tidak baru lagi; second—tangan kedua; yang bisa jadi tidak lebih baik dari hal atau benda yang baru (belum tersentuh sama sekali). Dan, kata “bekas” itu sungguh berbekas di hati saya.
Saya jadikan responnya itu sebagai representasi dari respon lelaki. Ternyata, lelaki masih ada yang mempermasalahkan “kebekasan” seorang wanita—apakah wanita itu pernah berpacaran dengan lelaki lain atau tidak; atau mempermasalahkan bagaimana gaya berpacaran si wanita. Saya akui, dia berespon seperti itu pada sahabat saya (padahal kenal pun belum sama sekali) karena di persepsinya sahabat saya ini gaya berhubungannya dengan kekasihnya dulu sama seperti gaya berhubungan lelaki-wanita masa kini. Jika begini yang saya pahami, saya pikir kakak saya tidak ingin rugi karena dia menganggap diri masih “baru”, sayang apabila dapat pasangan yang “bekas”. Ya, mungkin dia ingin mencari kesepadanan.
Yang saya sesalkan, ini terlontar dari kakak saya. Responnya menyiratkan seseorang yang belum bisa mencinta secara dewasa. Nanti, jika kelak saya bertemu dengan lelaki, saya akan coba paparkan “kebekasan” saya. Jika dia tidak bisa menerima, itu artinya dia masih mencinta dengan pamrihnya, bukan mencinta saya dengan alasan memang dia menerima saya tanpa butuh alasan.
Ironisnya, kami berbincang tepat di hari Kartini, yang katanya ia seorang yang begitu menggebu melontarkan semangat emansipasi. Tapi saya pikir, dari kejadian ini, eksistensi kami masih seperti dikebiri tepat di hari Kartini. Kami masih dipersalahkan dalam urusan tubuh kami—apakah masih “baru” atau dikotominya. Jika masih demikian persepsi lelaki, lalu diletakkan di mana urusan hati? Hai lelaki, coba pikirkan ini!

Tuesday, April 20, 2010

Teriakan Mereka

Biasa angin MENGGODA. Tapi, tadi tidak lagi. Angin menusuk-nusuk sampai ke ulu. Ulu menjerit. Memekik sengit. Lambung pun sama menderitanya. Lambung tak tahan dikepung. Lambung makin meradang di kala angin smakin menerjang. Tolong-tolong HADANG angin itu!! Jangan biarkan ia mengganggu kenyamananku!! Pekik lambung seolah minta ampun. Oh SAYANG, wajah lambung kini terlanjur asam. Teriakkannya tak dihiraukan.

Mulai lagi rahim bergolak. Dinding-dindingnya segera akan runtuh, terkisis perlahan karena masanya telah tiba. OH dinding rahim akan RUNTUH!! SEGERA-SEGERA-SEGERA ambil RENCANA sebelum ia keluar membawa NODA. Tes...tes...tes...ah...noda terasa telah ada. Tapi, percuma karena si empunya tak dapat melihat dalam gelap. OH TIDAK-TIDAK-TIDAK, sakit akibat kikisan rahim ini begitu tidak tertahan. Malah sakitnya ikut dirasakan pinggang.

Kini giliran KEPALA. Ah, kenapa kepala pun ikut BERSUARA. SUDAH-SUDAH-SUDAH bersabarlah DULU dalam nyerimu.

Ulu, lambung, rahim, pinggang, kepala,,,,mari kita bersatu dalam doa!

Monday, April 19, 2010

Hippo Time

Hippo Time diperkenalkan oleh seorang penulis bernama Paul McGee. Intinya adalah waktu tenang, yakni waktu ketika Anda merenung, memikirkan ataupun menenangkan diri dari suatu pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami.”

Setelah selesai membaca satu paragraf dari artikel suatu majalah mungil yang ia pinjam dari perpustakaan, ia bergeming. Sendiri hening. Rekaman masa lalu yang ia simpan rapi di sisi memori-memori lain otaknya kembali terputar. Rekaman sepuluh tahun lalu itu sedikit menusuk hati yang ia sendiri pun tidak tahu pasti di mana letak hati dalam tubuhnya. Yang ia tahu ia merasakan nyeri di bagian yang orang namakan dada, tempat jantung berada.

“Terkadang terhadap orang yang berduka atau mengalami kemalangan kita berkata, “Ayolah lupakan saja. Segera bangkit lagi.” Memang, nasihat semacam ini berguna bagi orang tertentu. Tetapi, bagi beberapa jenis individu yang membutuhkan waktu tenang, justru itu bukanlah nasihat terbaik. Secara psikologis, hippo time ini punya efek penyembuhan karena kita belajar menerima, berdamai, sekaligus melepaskan beban yang tidak menyenangkan itu.”

Ia lanjutkan membaca satu paragraf berikutnya. Kembali terdiam tanpa kata. Kembali rekaman masa lalu itu terputarkan tanpa jeda. Dan, ia yakini dengan rasa bahwa ia pernah mengalami hippo time dalam hidupnya. Dua tahun lalu, ia putuskan untuk berdamai dengan ketakutan akibat rekaman sepuluh tahun lalu itu—rekaman yang membuatnya mengutuk habis sebuah hubungan antara perempuan dan lelaki.
Ya, rekaman itu didapatkan dari orang terdekatnya. Ia merekam dengan nalar gadis usia empat belas tahun, merekam dengan jelas lewat mata dan hati bahwa hubungan perempuan dan lelaki yang tercermin dari orangtuanya tidak lebih dari sebuah tahi ayam. Ah, dia lebih suka menyebutnya tai ayam, tanpa ada huruf /h/ yang melekat di sana karena menurutnya huruf /h/ itu membuat kata tai jadi lebih elegan. Ia sama sekali tidak merasa tai itu elegan.
Mengapa tai ayam? Ya karena dengan pengalamannya hidup selama empat belas tahun ia sering menjumpai tai ayam di halaman rumahnya. Tai ayam yang baru dikeluarkan tidak akan terasa bau, tetapi ketika ia sudah lama diam di sana maka akan tercium bau menyengat. Sama dengan hubungan orangtuanya, dimulai dengan awal yang biasa saja, tetapi ketika telah bersama belasan tahun mulailah bau itu menyengat—bau kebosanan, bau kesalahpahaman yang dibiarkan, dan bau kesakithatian. Itu yang ia cerna ketika ia masih berusia empat belas tahun.
Akhirnya dari pengalaman itu ia putuskan untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau “hubungan perempuan-lelaki”, layaknya seperti tai ayam yang ia yakini semua orang pasti tidak akan suka. Mulai dari usia itu ia menarik diri dari lelaki. Mulai mengintimidasi lelaki. Lantas mengapa lelaki? Bukan “hubungan perempuan-lelaki” yang dianggapnya seperti tai? Itu karena ia begitu tidak suka pada sosok yang dunia namakan ayah. Sosok itu yang awalnya berulah, membuat memori buruk pada anak-anaknya. Oleh karena itu, dianggapnya lelaki sama seperti “hubungan perempuan-lelaki”. Berarti, “lelaki” dan “hubungan perempuan-lelaki” adalah tai!

Berjalanlah waktu. Sembilan tahun berlalu. Ia telah mendapatkan titik jenuh. Ia bosan sendiri. Ia ingin berbagi. Mungkin ini yang dinamakan naluri. Muncullah hippo time itu, sebuah waktu dari kulminasi sebuah rasa sendiri. Dulu ia suka memaki sepasang manusia yang jalan bergandeng tangan penuh mesra, tetapi kini ia ingini. Mulailah ia berdamai dengan diri, menyudahi kesakithatian yang telah mengerak di sudut hati. Karena ia sadari, semua itu percuma. Sia-sia.

Ah, tapi jangan kalian pikir ia tidak mengganggap “hubungan perempuan-lelaki” itu tidak seperti tai lagi. Persepsi itu masih mengerak di otak. Ia hanya berdamai dengan persepsi yang menilai bahwa lelaki itu tai. Itu saja. Ia pun mulai berdekatan dengan lelaki, mulai membuka hubungan dengan lelaki, tapi hanya sebuah hubungan tanpa ikatan. Tanpa komitmen. Tanpa menganggap seorang lelaki itu eksklusif. Hanya sebuah hubungan yang ia pakai untuk mengenal diri dan rasa dari manusia yang dinamakan lelaki. Dan, ia menikmati.

Dua tahun berlalu. Kembali ia rasai hippo time-nya, waktu saat ia mulai berdamai lagi dengan hidupnya karena ia merasa ia telah kembali berkulminasi. Kali ini kulminasi sebuah rasa sendiri dan rasa hati. Ia semakin merasa sendiri di kala banyak lelaki mendekati dengan tanpa hati. Ia semakin merasa dua tahun ia lewatkan dengan sia-sia karena hatinya terluka. Ya, ia pakai hati. Ia telah pakai hati. Hai dengar semua, gadis ini telah pakai hati! Awalnya ia pikir bisa tidak perlu melibatkan hati, tapi ternyata tidak. Hubungan tanpa ikatan itu telah membuatnya sakit hati—sebuah sakit hati yang sia-sia pada mereka! Huh, tapi ia anggap hal itu wajar karena dua tahun lalu ia belum jadi wanita yang mampu mencerna dengan logika.

Namun kali ini, saat ini, ketika kata-kata ini Anda baca, ia telah putuskan untuk melepaskan beban yang tidak menyenangkan baginya ini. Cukup baginya ia lewatkan beberapa hari belakangan ini untuk ber-hippo time. Ia mulai mencari jawaban yang bisa menabahkan diri tentang “hubungan perempuan-lelaki”. Ia mulai menganggap masalah orangtuanya dulu yang menjadi titik awal kebekuan hatinya adalah wajar karena itu hanya dinamika berumah tangga; mengganggap ketika itu orangtuanya sedang dicobai walaupun mereka tidak mampu melewati cobaan itu dengan baik; dan banyak alasan lain yang dimunculkan untuk berdamai dengan kesakithatian itu.

Kini, ia tidak ingin menjadi gadis lagi. Ia ingin menjadi wanita yang mampu mencerna dengan logika. Lalu hati ia simpan dengan baik sampai tiba waktunya nanti diberikan pada lelaki dengan terlebih dahulu membuat ikatan dengannya. Lalu kalau nanti tiba satu masa lelakinya mulai berulah sama seperti ayah, ia akan mempersepsikan diri bahwa ia sedang dicobai. Hanya tinggal lihat nanti apakah mereka bisa melewatkan cobaan itu atau tidak. Ayo dicoba! Oh tidak, jangan dicoba, tapi ayo lakukan! Hemphh, rasanya ini terdengar lebih baik.
Ya, kini ia berhasil menyembuhkan luka yang disimpan bertahun-tahun lamanya. God, just bless her.


Aku cerita tentangnya agar setidaknya kamu bisa menyediakan waktu sibukmu untuk berdamai dengan keras hati yang menjadi masalahmu.

Friday, April 9, 2010

cita-cita saya

Mengajar adalah pekerjaan ideal bagi saya. Pertama, lewat mengajar, mau tidak mau saya dituntut untuk terus memperbarui pengetahuan. Memperbarui pengetahuan menurut saya adalah bagian dari pembelajaran. Dan, saya menyukai hal itu. Kedua, saya lebih menyukai ruang kelas dengan segala isinya daripada ruang kantor dengan melulu berada di depan layar komputer karena menurut saya pekerjaan seperti itu membelenggu. Di ruang kelas, saya bisa berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai karakter, berdiskusi dengan mereka, dan menjadi teladan sekaligus teman. Dan ketiga, saya suka membagi pengetahuan. Membuat orang lain mengangguk mengerti dengan pengetahuan yang saya berikan adalah suatu hal yang menyenangkan.
Pernah saya mendengar, guru adalah pengajar yang mencintai anak-anak, sedangkan dosen adalah pengajar yang mencintai ilmu. Di satu sisi, saya menyukai dunia anak-anak. Menurut saya, dunia anak-anak tidak mengenal status; anak-anak adalah manusia yang sedang belajar mengenal dunia. Dari mereka, saya dapat belajar, misalnya menghargai manusia tidak dengan status mereka, ataupun menjadi seperti anak-anak yang selalu haus untuk belajar dan mengenal dunia.
Namun di sisi lain, saya menyukai ilmu. Saya suka meneliti. Kegiatan meneliti—kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis—adalah kegiatan yang menyenangkan karena selain dapat menghasilkan sebuah teori atau memecahkan persoalan praktis, dengan meneliti dapat pula memengaruhi pola pikir saya untuk lebih sistematis, kritis, dan objektif dalam menyikapi persoalan sehari-hari. Selain itu, menjadi seorang akademisi membuat saya belajar bijaksana, yang akhirnya dapat membuat saya menyikapi masalah tidak dari satu dimensi atau perspektif saja, tetapi juga melihatnya dari dimensi atau perspektif lain. Jika saya boleh memilih, saya ingin menjadi seorang akademisi yang juga berkecimpung dalam dunia pendidikan, baik sekolah menengah pertama ataupun menengah atas, karena dari keduanya saya dapat belajar banyak hal.
Yang saya perhatikan selama ini, banyak mahasiswa yang mahir dalam bidang studi yang dikuasainya, tetapi ketika menulis sebuah makalah atau skripsi, mereka terbata-bata menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat dipahami karena mereka tidak mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya dengan baik, hingga akhirnya ide cemerlangnya itu tidak tersampaikan kepada khalayak. Sangat disayangkan, bukan? Padahal fungsi bahasa yang mendasar adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa menjadi penjamin berlangsungnya interaksi antarmanusia. Dalam interaksi tersebut terjadi transfer ilmu pengetahuan, kebudayaan, nilai-nilai, dan norma-norma. Semua ini berlangsung dengan media bahasa. Tanpa bahasa, segala konsep abstrak itu mustahil akan dapat dikomunikasikan dengan baik. Bertitik tolak dari realitas tersebut, kita tidak bisa menganggap bahasa sebagai ilmu yang teoretis dan isolatif (yang terpisah dari ilmu-ilmu lain).
Berangkat dari pentingnya bahasa yang saya paparkan di atas, saya memiliki keinginan untuk membuat sebuah wadah dalam mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa, jika seandainya saya menjadi pengajar di tingkat universitas. Misalnya saja, membuat studi linguistik terapan seperti studi bahasa dalam ilmu hukum, studi bahasa dalam ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lain, dan mungkin saja dapat menjadi satu di antara kurikulum pendidikan. Ya, memang itu hanya sebuah keinginan kecil dari saya yang bercita-cita menjadi seorang akademisi.

Thursday, April 8, 2010

Orang Baru Lagi

Malam itu, aku bertemu dengannya. Diawali dengan perkenalan basa-basi. Biasa. Yang tidak biasa adalah kami mengobrol sampai pagi. Ah, bukan kami, melainkan aku yang tidak biasa mengobrol lama. Mungkin tidak bagi dia.
Dia orang yang kesekian yang berkenalan dengan cara yang sama. Yang berbeda adalah dia membuatku betah bicara berlama-lama. Ya, aku akan selalu betah dengan orang yang suka bicara. Tidak-tidak! Jangan anggap kami berbicara masalah serius yang menguras hati dan logika. Kami hanya berbicara masalah yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, apalagi sempat terpikirkan dalam keseharian. Akan tetapi, obrolan yang tidak penting itu tetap mampu menguras logika, terutama menguras logikanya dalam berkata-kata. Hahaha...
Cukup cerita awal-perkenalan kami karena tugasku di sini terpaksa bercerita tentang dirinya. Sekali lagi kukatakan TERPAKSA! :) (sebenarnya aku ingin pakai kata “dipaksa”, yang artinya setelah kata itu akan selalu muncul si pelaku. Aku tidak mau saja membuatnya merasa berdosa. Jadi kuurungkan niatku. hahaha...)
Hemphhh...Sebentar kuambil napas dalam-dalam dulu. Aku perlu waktu menggabungkan pengalaman bersamanya dengan puluhan kata untuk mendeskripsikan dirinya.
Baiklah, aku mulai. Kunamakan dia di phonebooks ponselku dengan nama Joe Ga untuk membedakannya dengan dua nama Joe—dua nama temanku yang juga tersimpan di sana. Kalau kamu mengira itu singkatan dari nama Joe Ganteng, kamu SALAH BESAR! Hahaha... itu hanya singkatan dari nama & marganya.
Kalau aku katakan dia orang baik, itu terlalu biasa. Karena pada hakekatnya, semua manusia memang terlahir dengan sifat baik. Yang tidak biasa darinya dibanding lelaki-lelaki lain, misalnya, dia tergolong orang yang suka bercanda, suka bicara, dan terbuka. Jarang kutemui lelaki seperti itu. Aku berkata demikian karena itu yang kutangkap dari keseharian berhubungan dengannya walau hanya lewat pesan. Ia tidak malu ketika butuh pendapat bagaimana cara mengirim pesan ke orang yang disukainya; ia tidak berkeberatan dengan kebiasaan-kebiasaanku yang dianggap tabu untuk ukuran perempuan normal hahaha...; ia tidak mudah tersinggung ketika suatu hari kuceletuki dia dengan sebutan kambing, kaum duafa, cowok lebay, kuli, dan banyak ejekan lainnya..wekss...; ia suka memberi perhatian berlebih padaku untuk ukuran sebagai seorang teman; ia suka berhalusinasi kalau kami telah punya ikatan batin...wkwkw...; ia suka berimajinasi bahwa aku berkepala peang karena ia kerap memanggilku yank...jiakakaka; ia...........
Kuhentikan dulu deskripsinya sampai di sana karena aku kehabisan kata. Nanti akan kusambung kembali ketika aku sudah mengenalnya lebih lagi.
Satu hal yang pasti, aku menyukainya. Tidak, aku tidak menyukainya lalu lantas berhasrat menginginkannya. Mungkin sukaku ini namanya “suka tanpa pamrih”—menyukai lelaki bukan karena menginginkannya menjadi milik kita, tetapi menyukainya karena dia manusia yang layak disukai seperti manusia-manusia lainnya. Sama juga seperti menyukai makhluk hidup lain, misalnya kambing. (lho?!)hehehe...


Jika dari ceritaku ini akhirnya kamu berhasrat ingin mengenal temanku yang satu ini, buka saja link ini
http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=789519669#!/joe.sinaga?v=info&ref=ts

Satu pesanku, berdoalah sebelum membuka link ini karena kita tidak pernah tahu akan musibah apa yang nantinya akan menimpamu. Wkwkwkw....

Tuesday, April 6, 2010

Ini Bukan Mimpi

Pagi ini wanita itu memelekkan mata seperti biasa. Tapi, ia teringat kalau hari ini hari Sabtu. Buat apa memelekkan mata seperti biasa di hari Sabtu, pikirnya. Lalu ia pejamkan kembali matanya. Tak terasa satu jam telah berlalu. Kembali ia terbangun. Kali ini ia terbangun karena mimpi, mimpi terlambat bangun pagi. Ia melekkan mata lagi dan melihat dari celah gordin bahwa mentari telah menyala di luar sana. Ini sudah tak pagi lagi. Ia lihat waktu di ponsel yang tergeletak setiap pagi di samping bantalnya. Sudah tak pukul lima lagi. Tapi, terpampang di ponselnya kata Saturday. Ya, ini hari Sabtu. Dan ia bernapas lega. Ternyata ia tidak telat bangun pagi. 
 Ia mulai membangunkan diri. Membuka gordin setengah dari lebarnya. Menerobos cepat cahaya, menyilaukan mata. Lalu mematikan lampu yang menemani tidurnya. Ia kembali ke kasur yang tak berdipan dengan kaki bersila. Rasanya hari ini lega karena ia tak perlu bangun pukul lima pagi. Lebih baik ia tidur lagi menuntaskan hasrat tidak perlu bangun pagi.
Di mimpi waktu berlalu dengan cepat. Sekali lagi ia bermimpi telat bangun pagi. Ketika terbangun dan mencerna lagi, kembali ternyata itu hanya mimpi. 
 Matahari sudah semakin terlihat mengganas dan hari sudah mulai panas. Mata wanita itu sudah tak ingin lagi diajak terpejam. Ia ambil remote control yang selalu ada di sebelah bantal bersama ponsel dan memencetkan tombol empat. Ia suka acara program di tombol empat. Terlihat di layar kaca seorang wanita sedang sibuk memperagakan cara memasak cokelat. Terlihat cokelat batang dicacah tak sama rata lalu diletakkan di mangkuk kaca yang katanya tahan panas. Mangkuk itu lalu diletakkan di atas wajan terisi air dan cokelat meleleh lambat-lambat. Menontonnya, air liur wanita itu ikut meleleh.
 Ini acara kesukaannya setiap ia bangun. Dan, selalu tepat waktu ketika ia bangun dan memencetkan tombol empat remote control-nya dengan ajaib acara yang sama setiap hari muncul. Ah bukan, hanya hari Sabtu. Ya, hanya hari Sabtu ia lihat acara wanita pemasak itu. Seperti biasa, ia habiskan hari Sabtu di atas kasur. Menonton acara yang selalu sama di teve kecilnya. Setelah selesai acara wanita pemasak, sekarang gantian teve menampilkan Si Bapak Tua yang diberkahi mencicipi makanan dari segala pelosok negeri. Si Bapak Tua itu selalu membuat ia iri. Ia ingin juga bisa mencicipi makanan dari segala negeri. Tapi, mana mungkin karena ia selalu bangun jam lima pagi dan selalu menghabiskan waktu di tempat yang sama setiap hari. Tak apalah, biasanya energi iri itu ia tumpahkan dengan cara membeli lontong sayur di penjual depan rumah lalu memakannya ketika Si Bapak Tua sedang asyik mencicipi makanan dan mengomentarinya seolah dengan rasa nikmat tiada dua. Ia rasai lontong sayur itu seperti makanan yang dicicipi Bapak Tua di teve. Iri lumayan terobati.
 Habis sarapan pagi, habis pula acara Si Bapak Tua. Teve melanjutkan acara lain yang tidak menarik hatinya lagi. Kembali ia rebahkan diri dan mulai memejamkan mata karena kantuk mulai menyerang ketika ia sudah kenyang. Ah, sial. Ia bermimpi hal sama lagi. Sekali lagi ia bermimpi telat bangun pagi. Kali ini ditambah dengan gerutunya. Ia jadi benci tidur hari ini. Lalu ia bangun dan berpikir. Tidak, bukan tubuhnya yang bangun. Hanya mata dan pikirnya. Mungkin karena aku terlalu takut terlambat masuk kerja setiap hari, makanya aku jadi takut terlambat bangun pagi, pikirnya. 
 Tubuhnya telah mengikuti ritmenya. Dengan sendirinya mata terbuka setiap pukul lima pagi, malah selalu mendahului alarm ponsel yang berdering tepat waktu. Sering ia matikan alarm itu sebelum berbunyi. Ia sendiri baru sadar bahwa tubuhnya ajaib. Tubuhnya mampu mengalahkan alarm itu. Pikirnya sambil menatap langit kamar.
Biasanya setelah bangun pukul lima pagi, kunyalakan dispenser. Dalam penungguanku selama lima belas menit sebelum air mendidih, biasanya berbaring lagi memeluk guling. Lumayan menambah jatah memejamkan mata barang semenit. Setelah sadar diri, kuambil nasi dan lauk yang kusiapkan tadi malam. Makan. Dan, diakhiri minum air hangat hasil penungguanku. Mandi. Bersiap diri. Dan pergi. Pulang-pulang kulihat jam sudah pukul lima lagi. Berganti pakaian dan merebahkan diri. Bangun-bangun kamarku menggelap karena di luar matahari telah terlelap. Kubangunkan diri tanpa ada air membersihkannya barang seelap. Kuambil nasi dan lauk yang kubeli ketika perjalanan pulang tadi. Makan lagi. Mengambil remote control dan membiarkan suara-suara dari teve bergema sendiri karena kusibuk menyiapkan materi dan itu-ini untuk besok lagi. Itu rutinitasku tiap hari, ceritanya dalam hati sambil terus menatap langit kamar.
Kini ia bangunkan tubuhnya. Ia duduk tetap menetap dan menatap lantai kamarnya. Terkejut ia. Didapatinya helaian-helaian rambut di sana-sini, bercak totol-totol hitam seperti tai lalat melekat di lantai dekat meja kecil samping kasurnya. Di atas meja kecil itu ia lihat tumpukan file berkisar empat puluh centi tersusun tidak rata. Di samping tumpukan file itu dilihatnya bedak tabur, beberapa botol parfum, obat penyubur rambut, lotion, krim pagi, krim malam, satu paket seperti dompet tempat pemulas mata, pipi, dan bibir. Alas bedak, krim pengencang payudara, pelentik bulu mata, maskara berbagai warna, dan banyak lagi alat yang dipakaikan ke tubuhnya sampai ia sendiri berpikir bahwa begitu banyak alat yang ia jadikan topeng untuk menutupi keadaan sebenarnya. Ah, tidak, itu dilakukan hanya karena tuntutan profesi. Tiap hari aku akan dilihat oleh puluhan mata. Bukan hanya materi yang akan didengar mereka. Mau tidak mau, mereka akan melihat penampilan si pemateri itu juga, pikirnya melawan pendapatnya sendiri.
Matanya kemudian menerawang ke arah debu yang menempel di atas meja tempat monitor komputernya. Di bawah meja itu, terdapat tiga tingkat rak buku, bukan, rak kertas tepatnya, yang tersusun asal saja. Di bawah kolong rak itu, debu menempel dan beberapa mengintip dari sudut-sudut kaki meja. Ada pula debu yang terhampar tanpa malu bersama dengan helaian rambut berbaur jadi satu. Belum lagi lantai kamar mandi yang ia bayangkan bagaimana menguningnya karena lama tak disikat. Inilah hasil kerjanya berhari-hari.
Lalu ia pun teringat dahulu. Ia masih suka bersih-bersih. Bahkan sering ia mencuci. Sekarang alih-alih mencuci, setiap jumat malam ia selalu ke laundry. Ya itu dahulu ketika ia masih mahasiswi. Banyak waktu yang ia punyai. Tapi kini tidak lagi. Kembali ia rebahkan diri. Tidak, ia tidak menyesali diri. Mungkin beginilah kaum pekerja yang sudah tidak punya waktu mengurus itu-ini. Bahkan untuk memikirkan diri sendiri. Hanya hari ini dan besok aku bisa habiskan waktu untuk memejamkan mata lebih lama dari biasa dan membiarkan tubuh terlena sementara, setelah itu rutinitas menanti seperti biasa. Katanya dalam hati.
Lalu ia tertidur lagi dan berharap tidak mimpi bangun jam lima pagi.

Dago, Maret 2010 
(based true story) 




 

Friday, April 2, 2010

Duo Maia Berselingkuh


Duo Maia yang dulu akrab dikenal dengan nama Ratu, adalah ratu di kancah musik Tanah Air. Kehadirannya mampu menarik perhatian kita pada musiknya yang tidak melulu menggaungkan tema cinta sejati. Malahan, tema lagu milik Duo Maia yang mulanya lebih menggaungkan tema perselingkuhan itu, kini diikuti jejaknya oleh para musisi lain. Sejak kemunculannya di album pertama, cinta sejati antara dua insani bukan tema utama bagi Duo Maia. Ia lebih tertarik pada kenyataan di sekelilingnya bahwa ada cinta erotis—yang melihat cinta semata-mata sebagai ungkapan naluri seksual—sebagai tema dari kebanyakan lagu-lagunya. Tema ini dikemasnya dalam balutan musik centil dan lirik yang menyentil mengenai cinta dan perselingkuhan.

Lagu dari album pertamanya yang berjudul Jangan Bilang Siapa-Siapa bercerita tentang seorang perempuan yang menyukai pria yang baru ditemuinya dan melanggengkan cinta erotis yang dimilikinya itu tanpa peduli bahwa ia masih milik pria lain. Liriknya tidak terlalu sulit dipahami. Perjumpaan (kala jumpa dirinya), kepemilikan (kusudah ada yang punya), senyum penuh arti (kuberi senyumku kepadanya dan kau tahu maksud hatiku), perkenalan singkat (kau tanya siapa namaku), perjanjian diam-diam (dan kita berjanji tuk jumpa lagi tanpa ada teman tanpa ada yang tahu kita suka), pengalaman seksual tersembunyi (setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku), kebohongan (aku ingin kau tak tahu bahwa kusudah ada yang punya), ketertarikan lawan jenis lewat “paket diri” yang menarik (menebar pesona ke insan pria, pasti ada satu-dua lelaki yang ‘kan suka), pencarian cinta (manusia tak pernah berhenti mencari yang didambakannya), dan keeksklusifan cinta (kuhanya manusia yang menginginkan satu pria saja yang terbaik dalam hidupku)—semua rangkuman dari lirik itu menggambarkan esensi bahwa cinta dipandang semata-mata sebagai hasil dari reaksi emosional yang spontan, yang seketika diikat oleh perasaan terpukau pada lawan jenis. Cinta dipandang semata-mata sebagai soal kepemilikan diri atas orang lain atau pun sebaliknya.

Menilik lirik lagu Duo Maia tersebut, tidak ada ruang untuk janji dan komitmen, untuk mencintai selamanya atau untuk cinta sejati. Cinta bagi Duo Maia hanyalah sebuah perasaan yang suatu ketika dapat lenyap dan jika cinta itu sudah lenyap, tinggal kembali lagi mencari lawan jenis yang mempunyai “paket diri” yang menarik (bisa berupa paket prilaku yang laku di pasar kepribadian—baik, ramah, perhatian—atau paket “kemasan diri” yang laris di pasar pencitraan tubuh—cantik, seksi, tampan, dll), yang dapat membuatnya “jatuh cinta”—yang didefiniskan oleh seorang psikoanalisis Eric Fromm sebagai hasrtat yang mampu meruntuhkan dua pribadi yang masih asing untuk saling melebur diri dalam ikatan emosional dengan penyimpulan instan, bahwa mereka saling mencintai karena mereka menghendaki satu sama lain secara jasmaniah.

Lalu judul lagu lainnya, Teman Tapi Mesra, tak kalah heboh daripada lagu pendahulunya. Bahkan sejak awal kemunculannya, judul lagu ini pun kerap dipakai sebagai bahasa baru oleh masyarakat, yang kita kenal dengan singkatan hubungan TTM. Pada lagu Teman tapi Mesra juga menyiratkan hal serupa. Liriknya menceritakan ketertarikan lewat “paket diri” lawan jenis (dia anak manis dan juga baik hati, dia slalu ada waktu untuk membantuku), kebimbangan (namun aku bingung ketika dia bilang cinta), kepemilikan (dan dia juga katakan ‘tuk ingin jadi kekasihku; aku memang suka pada dirimu namun aku ada yang punya), dan hasrat seksual (‘ku tak mungkin mencintaimu, kita berteman saja, teman tapi mesra)—sekali lagi dapat dipresentasikan bahwa cinta hanyalah sekadar hal kepemilikan dan hal menghendaki lawan jenis lewat “paket diri”, baik secara emosional maupun jasmaniah.

Dari dua lirik lagu tersebut, ada kelinearan mengenai persepsi cinta menurut Duo Maia—atau lebih tepatnya menurut si penulis lagu yang sekaligus sebagai personilnya, Maia Estianty. Hasrat seksual begitu lugas terbaca dalam lirik lagunya. Hasrat seksual itu dirangsang oleh berbagai bentuk emosi yang kuat, bisa berupa ketertarikan pada “paket diri” lawan jenis ataupun keinginan untuk memiliki “paket diri” lawan jenisnya itu, serta penyatuan dua pribadi lewat hubungan jasmani. Hasrat seksual terkamuflasekan atau tersamarkan dengan baik lewat pengertian tentang “cinta”.

Bagi penulis lagu tersebut, cinta yang semata-mata hadir karena adanya pengalaman keintiman antara dua individu (setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku; kita berteman saja, teman tapi mesra), hanyalah bersifat jangka pendek. Perselingkuhan dapat dicurigai sebagai ketidakpuasan pengalaman keintimannya dengan lawan jenis. Ketika seorang individu sudah bosan dengan pengalaman keintimannya dengan satu lawan jenis, seseorang tersebut akan mencari cinta dengan pribadi baru, dengan orang asing yang baru. Lagi-lagi karena ingin merasakan pengalaman keintiman dan pengalaman cinta yang berbeda, atau bisa jadi karena ketidakpernahpuasan dengan satu pribadi saja. Lalu kalau intensitas pengalaman itu berkurang, akan berujung pada keinginan akan penaklukan yang baru lagi, pengalaman keintiman yang baru lagi, dan cinta yang baru lagi (manusia tak pernah berhenti mencari yang didambakannya).

Pada dua lagu tersebut, tergambarkan pula adanya keterbukaan seksualitas perempuan. Keterbukaan seksual ini berbeda dengan zaman sebelumnya yang dianggap menceritakan pengalaman seksualitas perempuan adalah suatu hal yang tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan. Di zaman dengan budaya yang terus berkembang, pengalaman seksual bukan lagi suatu hal yang tabu melainkan hal yang dapat dengan biasa diperbincangkan, layaknya cinta. Begitu pula dengan perselingkuhan. Bagi Duo Maia itu adalah hal biasa, tidak perlu repot-repot mempertimbangkan “sistem dosa”. Entah itu karena pengaruh modernisme yang terus berkembang(?) atau karena ketidakpahaman tentang suatu hal yang paling mendasar, yakni hakekat cinta(?), atau bisa jadi, Duo Maia sengaja menggunakan “cinta” untuk menyamarkan hasrat seksualnya(?). Kini, terserah Anda ingin menanggapinya bagaimana.

Jatinangor, 19 Maret 2008