Sunday, October 31, 2010

Newnovel

Bagian 1

Ia duduk di sudut meja dengan pandangan lurus menatap jalan lewat kaca jendela. Mata yang menatap itu berkaca. Sayangnya kaca di matanya tidak kokoh seperti kaca di hadapannya, tetapi beriak seperti hendak retak. Sepasang manusia masuk lewat pintu berkaca yang ia tatap dan duduk tepat di samping mejanya. Ah, matanya yang berkaca kini benar-benar telah retak dan memunculkan sebulir air. Ya, hanya sebulir. Sama sepertinya yang kini hanya sendiri. Sendiri. Dulu kata itu adalah pilihan. Dulu, dulu itu tepatnya saat ia masih menuntut ilmu. Sendiri waktu itu mungkin sebuah pilihan yang lahir dari trauma. Baginya, mereka tak ubahnya seperti seonggok daging yang tak punya rasa.
Sepintas ia lihat pria si wanita itu. Sepintas ia lihat wanita si pria itu. Mereka saling tersenyum. Bukan, bukan tersenyum pada ia yang duduk sendiri. Mereka saling tersenyum, senyum yang dilakukan wanita untuk pria dan pria untuk wanita. Dan, ia tersenyum sambil menghembuskan napas menghela melihat senyuman mereka. Pikirannya mulai mengelana. Pria itu mengingatkannya pada mereka yang pernah singgah di hidup ia. Satu, dua, tiga, empat, lima, seterusnya. Semua sama tanpa rasa. Tak pernah ia temukan senyuman mereka sama seperti pria itu kepada wanitanya. Senyuman mereka hanyalah senyuman seperti seekor tikus yang rakus napsu.
Kali ini ia tahan air beriak di matanya agar tak lagi retak. Bukan saatnya ia terlihat lemah di tempat ini. Ah, makanan yang tidak ditunggu akhirnya datang juga. Ya, ia memesan makan malam di tempat ini, sekadar ingin merasai sendirinya. Dulu, tabu baginya makan sendiri di tempat umum. Makan sendiri di tempat umum baginya seperti manusia kesepian yang tak punya teman untuk sekadar berbagi cerita di tempat makan. Menurutnya, orang-orang akan menganggap wanita yang makan sendiri adalah manusia antisosial yang tak laku di pasar kepribadian dan diri. Dan, pikiran itu sungguh melecehkannya.
Namun, saat ini ia beranikan duduk sendiri di tempat makan. Ia beranikan melawan pikiran yang melecehkannya. Gampang baginya jika ingin duduk bersama dengan seorang pria di tempat ini. Hanya tinggal menekan tombol ponsel dan mencari nama yang ingin diajak, masalah telah selesai. Tapi, bukan itu yang ia mau. Rasanya percuma jika nama yang ingin diajak itu duduk sambil tersenyum palsu padanya. Rasanya percuma jika nama yang ia cari di ponselnya duduk di hadapannya sambil bercerita kisah fiktif tentang ia dan dia. Ia ingin orang yang duduk di hadapannya tersenyum sama seperti pria di samping mejanya itu yang tersenyum dengan wanitanya. Ia ingin berbagi cerita tentang rasa. Ya, ia ingin rasa.
Mengingat rasa membuatnya semakin tenggelam dalam ingatan. Sambil memutar-mutar kwetiau pada sebuah garpu sebagai menu makannya malam ini, ia ingat tentang rasa. Ia tersadar ia tidak punya rasa. Mungkin, hampir akan kehilangan rasa. Mereka yang pernah singgah sebagai tikus yang rakus napsu tidak ada yang melahirkannya rasa. Oh tidak, ada beberapa tikus yang rakus napsu yang pernah memunculkannya rasa. Tapi sayang, ia telah salah memberi rasa. Rasa terbuang dengan sia-sia dan ia kecewa. Pada masa ia kecewa, hampir di setiap helaan napas panjangnya ia inginkan rasa lagi, yang baru, yang ia pikir akan lain, yang ia pikir akan berhasil, tapi tetap saja ia kecewa.
Sampai pada akhirnya, ia putuskan untuk mematikan rasa. Ini pilihannya. Ia memilih ini karena ia lelah berharap pada rasa. Semangat juangnya untuk rasa habis tak tersisa. Jika kelak ia bertemu lagi dengan dia yang entah siapa, ia hanya perlu memilih dengan logika, bukan rasa. Karena, ia begitu tidak mengerti dengan rasa.
***

0 komentar:

Post a Comment