Friday, November 5, 2010

part 2

Klik. Dan, berhasil di-posting. Tepat pukul dua dini hari. Ia close halaman mozilla firefox yang terbuka dan mengklik simbol stop pada windows media player yang menyala. Ia tutup beranda yahoo messengers yang tak bergeming dari tadi. Dilanjutkan dengan mengklik kata shut down pada sudut bawah bagian kiri layar. Ia tutup layar monitor hingga menyatu dengan keyboard. Malam pun semakin larut.
Berbunyi mesin alarm di ponsel. Sudah sekitar sebelas tahun mesin itu membangunkan lelapnya. Mesin alarm itu bisa ia ganti dengan bunyi yang disukainya—lagu bersemangat milik penyanyi asing dengan beat menghentak ataupun sekadar bunyi tit-tit-tit saat ia tidak ingin bunyi kegaduhan menyambut paginya. Kadang, ia rindu mendengar suara ibunya yang teriak dari lantai bawah sebagai bunyi alarm saat ia harus bergegas bangun untuk sekolah. Suara alarm itu kerap berbeda nada setiap hari. Terkadang alarm itu akan bernada teriak yang netral, teriak yang kesal, atau kadang teriak yang menggempar. Kadang juga, ia rindu mendengar suara ayam yang berkokok sebagai alarm yang kerap membangunkannya ketika ia masih tinggal di kota kecil sekitar tujuh belas tahun lalu.
Kini kebiasaan itu tidak lagi ada. Alarm berbunyi suara ibu dan suara ayam tidak lagi membangunkan paginya. Kini alarm sudah diganti oleh sebuah mesin yang akan selalu berbunyi dengan nada dan intonasi yang sama persis. Seandainya saja ia mampu, ingin rasanya membuat sebuah mesin dengan program bunyi suara ibu atau suara ayam yang nada dan tekanannya akan selalu berbeda setiap kali berbunyi.
Sudah setahun ia tinggal di tempat ini setelah beberapa kali pindah, tentunya dengan alasan. Dan, sudah setahun pula ia tidak pernah mendengar suara kokok ayam atau kicauan burung menyambut paginya. Sekiranya sama saja dengan tempat tinggalnya sebelum ini. Bisa dimaklumi mengingat ayam sudah jarang ditemui pasca-flu burung yang mewabah beberapa tahun lalu. Bisa dimaklumi pula burung enggan terhimpit antara atap rumah yang saling berdekatan.
Suara tukang sayur, tukang susu murni, atau tukang sampahlah yang kerap menjadi alarm di daerah tempat tinggalnya. Beberapa kali ia tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara tukang susu begitu berat, dalam, dan diakhiri dengan teriakan di akhir pelafalan “susu”. Beberapa kali juga ia terganggu dengan suara tukang sayur yang begitu keras dan panjang melengkingkan bunyi /r/ pada pelafalan “sayur”. Ya, hanya beberapa kali pada awal ia tinggal di sini karena setelah itu ia sudah menyiapkan alarm dengan bunyi kesukaannya sebelum alarm suara tukang-tukang itu membangunkannya.
Pukul tujuh pagi. Hari ini ia bisa bangun dua jam lebih lama dari hari biasanya. Teve terus menyala dari malam sebagai peneman tidurnya. Ketakutannya akan keheningan malam yang membuat teve itu selalu menyala karena ia terlalu ngeri jika malamnya diganggu dengan suara-suara aneh tak terdeskripsi dari luar kamarnya. Terkadang, ia akan minta teman prianya untuk bermalam di sana jika ia sedang tidak ingin tidur sendiri. Hanya saja sering teman prianya menolong dengan pamrih, mengharapkan ia dapat memuaskan hasratnya sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan. Belakangan ia rindu merasakan hangat tubuh pria di sampingnya sebagai peneman tidur, yang akan mendekap tubuhnya, sambil mendengarkan bunyi detakan jantung sebagai musik pengantar tidur.
Sudah hampir dua bulan ia tidak merasakan hangatnya tubuh pria. Terakhir adalah pria hitam bertato salib di lengan kanan dan tubuh berisi yang kerap mendekapnya. Ia mengenalnya lewat situs jejaring sosial. Ia tak ingat awal perkenalannya kapan. Yang pasti setelah sekali berbincang di situs itu, pria hitam itu meminta nomor ponselnya. Ia sebagai wanita yang masih sendiri sama sekali tak menolak memberikan nomornya. Dilanjutkan dengan perbincangan lewat pesan singkat dan bertelepon.
Tak perlu waktu lama, pria itu lantas menginginkan sebuah hubungan lebih dari teman. Dan, tanpa pertimbangan ia mengiyakan. Janji bertemu. Ia agak kecewa setelah tahu pria itu hanya tamat sekolah menengah atas. Agak kecewa juga setelah pria itu bercerita tentang masa lalunya yang beringas. Hanya saja ia selalu meneguhkan diri dan mengatakan bahwa mencoba itu tidak salah.
Mungkin begini rasanya usia yang tidak lagi dikatakan sebagai gadis muda. Ia merasa umur dua puluh sembilan tahun pada wanita yang masih sendiri adalah usia yang tidak punya kesempatan lagi memilih. Baginya wanita itu berumur pendek. Jadi wajar kalau sekarang ia menerima dengan lapang dada pria yang mendekatinya, berharap ia akan segera menuntaskan masa sendirinya.
Ketika itu bulan Agustus. Pria hitam itu datang membawa janjinya bahwa ia bukan pria yang ingin main-main lagi. Ia ingin cari istri. Ia mengatakan dirinya sudah mapan. Katanya, ia sudah memiliki sebuah rumah di kota wisata yang semua orang pasti akan mengira rumah di daerah itu hanya dipunyai mereka yang berekonomi menengah ke atas. Begitu cara pria itu menjual diri. Sayang, ia begitu tidak nyaman mendengarnya. Bukan apa-apa. Ia merasa kalau pria yang sudah merasa mapan dalam hal ekonomi, pria itu akan dengan mudahnya mengendalikan wanita karena merasa punya kuasa. Ya, begitulah cara ia berpikir. Selalu memosisikan hal buruk sebagai prioritasnya agar ia bisa siap mental.
Pria hitam itu sering datang ke rumah kontrakan ia. Berbagi cerita. Terlebih sering berbagi rasa dalam keintiman tubuh. Sampai pada akhirnya ia bosan melakukannya dengan pria hitam itu. Ia merasa status hubungannya hanya sebuah kamuflase pria hitam itu yang haus akan napsu. Ia putuskan untuk mengakhiri hubungan itu tepat dua minggu mereka menjalin rasa. Ah bukan, lebih tepatnya menjalin kebohongan rasa. Ia utarakan alasannya. Dan, kau tahu apa yang pria itu katakan?
Pria itu malah mengajukan negoisasi. Pria itu mengatakan bahwa hasrat seksual harus terlampiaskan secara rutin. Itu kebutuhan. Harus dilakukan dengan rutinitas. Kalau kamu menolak tiap hari untuk melakukan rutinitas itu, lantas maumu berapa kali kita harus melakukannya? Tanya pria hitam itu pada ia.
Ia terhenyak. Apakah hubungan rasa harus dibumbui dengan aktivitas itu? Ia lelah. Ia lelah jika harus melakukannya dengan keterpaksaan, apalagi menjadikannya rutinitas. Sungguh ketika pria hitam itu meminta negoisasi, tertutup asa untuk menjalin hubungan dengannya.
Bagaimana kalau seminggu tiga kali? Atau seminggu sekali juga tidak masalah. Aku tidak mau munafik. Aku butuh itu. Kata pria hitam itu lagi. Maaf, sebuah hubungan bagiku bukan soal angka, tapi rasa. Bukan soal rutinitas aktivitas, tapi kualitas sikap. Cari saja wanita lain yang mampu memuaskan napsumu. Selamat tinggal. Jawab ia menutup pembicaraan mereka.
Pacaran. Susah baginya memaknai kata itu. Pacaran baginya tidak lebih bermakna hubungan yang dibangun oleh dua individu yang berasal dari adanya hal yang bisa saling menguntungkan kedua belah pihak, terlepas dari ketertarikan paket diri lawan jenis itu sendiri. Dunia memang sudah membuat manusia menjadi ekonomis. Ah bisa jadi manusia yang akhirnya membuat setiap pilihan yang tersedia di dunia atas dasar untung-rugi. Yang pasti, pria hitam itu sudah mendapatkan untung berupa kepuasan pelampiasan hasratnya dan ia sebagai wanita mendapatkan untung yang sama, hanya saja dalam kadar yang berbeda. Selebihnya, ia merasa rugi karena tubuhnya hanya dijadikan pelampiasan. Ini kali pertama ia menjalin rasa lewat status yang dinamakan dunia dengan pacaran. Nyatanya benar, status pacaran pertama ini memantapkan persepsinya bahwa status ini tak ada ubahnya dari hubungan dengan pria-pria terdahulu, yang dunia kenal dengan sebutan hubungan tanpa status.
Sudah pukul tujuh lewat tiga puluh. Setengah jam setelah alarm berbunyi ia tetap berbaring sambil memikirkan si pria hitam itu. Tolong dimaklumi jika ia masih mengingatnya. Dua bulan bukan waktu yang cukup untuk menghapus kenangan begitu saja. Menerobos cahaya ketika gordin kamar ia buka. Ia tarik napas dalam dan membuangnya panjang. Itu cara ia bersyukur kepada Pencipta karena masih memberinya kesempatan bernapas dalam tanpa beban.
Jarum detik jam terus menggeliat. Ia tidak boleh telat. Waktunya beribadat telah dekat. Ia gegaskan diri. Menyalakan air panas pada dispenser. Ia rapikan selimut seadanya. Ia ambil gelas yang berhari-hari dipakai untuk diisi air hangat yang belum lagi hangat pada dispenser yang baru saja menyala. Sekali teguk dan lega. Lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan, dimulailah kegiatan rutinnya sebagai wanita, merias diri. Dengan handuk yang masih menempel di tubuhnya, ia ambil pelembab yang berdiri tegak di meja rias. Dipoleskannya ke wajah sampai rata. Dilanjutkan dengan alas bedak yang tutupnya tinggal ditekan lalu akan memuntahkan cairan kental dan diletakkan pada punggung tangannya. Telunjuk tangan kanan mencolek cairan kental itu dan memoleskannya pada dagu, hidung, pipi kanan dan kiri, serta kening. Ia ratakan dengan sigap seolah telah ahli. Lalu ia tutupi lagi dengan bedak pada wajahnya yang telah berpelembab dan beralas bedak. Perona pipi disapukan halus pada daging pipi kanan-kiri. Lipstik dengan warna merah muda terlukis tipis di bibir. Tak lupa kelopak mata diberi warna coklat agar terlihat memikat. Terakhir, maskara bewarna hitam disisirkan agar bulu matanya terlihat lebih tebal.
Ya, ini kegiatan rutinnya sebagai wanita yang dimulai saat tahun keduanya bekerja. Bukan, merias wajah dengan peralatan make up itu bukan pencerminan dirinya. Ini bermula dari rekan kerjanya yang terlalu mencampuri penampilan ia sehingga atasannya menegurnya supaya ia bisa sedikit memoles wajah karena pekerjaannya menuntut ia akan dilihat banyak orang. Mau tidak mau ia harus mulai berdandan karena wajah alamiah tak cukup mampu merepresentasikan diri sebagai wanita dengan sempurna. Maka ia harus mampu berdandan agar terlihat cantik di mata dunia.
Dan, inilah hasilnya sekarang. Ia begitu terlatih untuk urusan yang satu ini. Sering ia berpikir mengapa harus wajah wanita yang mengenal bedak, alas bedak, perona pipi, lipstik, atau maskara. Apakah semua alat itu dijual dengan alasan karena wanita semakin tidak percaya pada wajah alamiahnya? Atau bisa jadi para pelaku ekonomi begitu cerdas membuat alat-alat itu karena mereka tahu bahwa wanita itu tidak lepas kaitannya dengan keindahan. Sampai pada tahap, masyarakat sudah memersepsi bahwa bicara tentang wanita berarti bicara tentang rupa. Itulah dunia yang begitu mampu mengendalikan manusia. Dan, ia harus terkendalikan keadaan juga demi mendapat tempat di lingkungannya. Ya, begitulah dia yang akan selalu menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakannya sendiri.
Kaos warna magenta telah melekat indah di tubuhnya. Rambut hitamnya tercepol rapi dengan poni yang ia tarik menggunakan bando hingga membuat keningnya terlihat menonjol. Ia siap melangkah melihat dunia. Cerahnya mentari di balik atap tetangga menyambut cerahnya wajah yang sudah tertata sempurna tanpa noda. Berkali-kali ia hirup dalam udara pagi yang belum ternoda sekadar ingin menyegarkan paru-parunya sebelum ia akan menutup hidung dan menahan napas saat sudah berada di pinggir jalan raya.
Ia stop angkutan umum yang hampir tiap hari dinaikinya. Sering temannya menasehati untuk membeli kendaraan sendiri dengan alasan bisa lebih irit dan tidak perlu lama untuk cepat sampai. Sayangnya ia tak pernah menggubris hal itu karena sama dengan kesendiriannya, naik angkutan umum adalah pilihan. Ia lebih nyaman duduk bersama dengan manusia lain yang tidak saling kenal. Di angkutan umum ia bisa temui manusia berbagai rupa dan sikap. Walaupun berbeda, ia merasa menjadi bagian dengan orang-orang itu karena mereka punya tujuan yang sama. Di saat kau tidak tahu jalan, ada mereka yang bisa membantu. Di saat kau naik, mereka akan menggeserkan diri dan menyediakan tempat duduk bagimu. Dan, secara tidak langsung mereka terkoneksi denganmu selama perjalanan. Malah bisa jadi kau akan bertemu dengan orang yang sama berkali-kali di angkutan umum itu, sampai akhirnya kau merasa dunia memang kecil sama kecilnya dengan angkutan umum itu. Hal-hal kecil seperti itu tidak akan bisa ia temui kalau ia punya kendaraan sendiri.
Ia suka merepresentasikan orang-orang yang ia temui di angkutan umum. Seperti saat ini. Ia tertarik melihat seorang gadis muda duduk di bagian paling belakang. Rambut gadis itu pirang buatan dengan poni seluruhnya menutupi kening. Riasannya terlalu tebal melebihi ukuran umurnya. Wajahnya simetris dengan bola mata yang besar. Softlense membuat matanya berbinar seperti mata kucing. Penampilannya membuat orang-orang mungkin akan mengidentikkanya sebagai gadis yang mudah diajak berkencan. Jauh menatap matanya, kau akan temukan sebuah rasa kecewa yang ia simpan dalam, seolah penuh beban. Entahlah, melihat gadis itu tiba-tiba ia menjadi merasa terkoneksi.

0 komentar:

Post a Comment