Sunday, April 25, 2010

Ironis

“Apakah kalian tahu apa itu patriaki?” Si pembicara sejenak berhenti setelah bertanya. Ia menunggu respon dari pertanyaannya. Semua hadirin diam. Diamnya hadirin bisa jadi karena dua hal. Pertama, kondisi hadirin yang mungkin sudah tidak nyaman dengan panas ruangan tanpa ventilasi, hanya ada kipas yang berputar lambat jauh di atas kepala. Terlebih acara seminar ini baru satu jam dimulai setelah mereka mendengarkan monolog-puisi yang kemungkinan besar tidak dimengerti. Ya, sekadar dinikmati. Alasan kedua, memang hadirin tidak tahu apa itu patriaki.
Hadirin yang hadir pada acara Parade Suara Perempuan sebagian besar adalah perwakilan siswa SMP dan SMA se-Bandung yang didampingi oleh guru mereka masing-masing. Mereka hadir di sana karena undangan. Yang saya pahami dari undangan itu siswa akan mendapatkan bagaimana cara menulis kreatif fiksi yang baik, yakni fiksi yang mencuatkan kehidupan sebagai refleksi. Tapi yang saya cermati, siswa yang saya pilih untuk ikut seminar ini merasa hanya disuguhi esensi membuat fiksi hanya kurang dari lima menit saja. Dan, tiga jam berikutnya mereka disunguhi monolog-puisi dan seminar biasa.
Saya katakan biasa karena seminar ini telah biasa saya dengar dulu ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Kata-kata pembicara tentang feminisme, gender, hegemoni, patriaki, eksistensialisme, sampai emansipasinya Kartini, sudah pernah saya lumat habis dari koleksi buku-buku saya. Dan, mendengar pembicara membahas masalah itu bagi saya sama seperti membaca ulang buku-buku tersebut. Akhirnya, saya mengikuti seminar itu dengan sikap sedikit menyepelekannya karena telah sok merasa tahu inti yang dikemukakan pembicara.
Lalu saya hanya mengamati gaya si pembicara. Ia adalah dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra di Universitas Pendidikan di Bandung ini. Sesekali ia memperbaiki rambut yang keluar dari kerudungnya. Ia berdiri sambil menatap power point yang terpampang jauh di kanannya. Wajahnya agak sedikit pucat, mungkin kelelahan.
Awalnya, ia sajikan data sebagai bahan analisisnya. Data diambil dari buku-buku Sekolah Dasar yang memperlihatkan bahwa perempuan selalu dipersepsikan sebagai pelaku domestik, dan lelaki dipersepsikan sebagai pelaku publik. Setiap satu data disajikan, pembicara akan bertanya pada hadirin apa maksud data itu.
Dilanjutkan menyajikan data dari koran. “Empat Gadis ABG Gagal Didagangkan ke Batam”, “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, sampai pada judul “Wanita Racun Dunia”. Ketika disajikan judul “Virnie Ismail Seksi, Centil, dan Penggoda”, anak-anak SMA yang duduk di belakang kami begitu menggebu sambil berdiri menyatakan ketidaksukaannya karena dari judul itu perempuan dikategorikan negatif. Tapi, adalah ironis saat saya lihat gaya siswi SMA yang berbicara itu tengah memperlihatkan sikap seksi, centil, dan penggodanya. Saya katakan seksi karena ia mengenakan seragam ketat dan saat berdiri menunjuk-nunjuk diri terlihat pusarnya ingin eksis juga. Sikap tubuh yang cekakak-cekikik mengartikan kecentilan mereka dan itu mampu menggoda lelaki di sana. Ya saya pikir wajar saja jika ada yang mengatakan “Wanita Racun Dunia”.
Sampailah pada akhir seminar. Tiga atau empat penonton diminta untuk memberikan kesannya ke depan. Kesan diakhiri dari seorang bapak berkumis.
“Ya, yang saya bisa tangkap dari seminar ini, kiranya wanita tidak malas untuk ke dapur.” Berhenti sejenak. Saya lihat air muka pembicara berubah. Dan, saya pun ikut terhenyak lalu tertawa hebat dalam hati.
“Tapi, laki-laki pun jangan malas untuk ke dapur.” Si bapak berkumis melanjutkan perkataannya. Pembicara terlihat sedikit lega karena ternyata setengah jam ia bicara tidak percuma.
Saya jadi bertanya, apa siswa-siswa yang tiga jam di ruangan tadi mengerti apa yang telah dipaparkan pembicara? Saya pesimis karena lingkungan tempat tinggal mereka belum tentu mendukung semangat penyetaraan gender yang digaungkan si pembicara tersebut.
Setidaknya, kesetiaan kami menyaksikan acara tanggal 24 April lalu itu pun tidak sia-sia karena satu anak saya beruntung mendapatkan sebuah buku bagus yang mampu mencerahkannya.

0 komentar:

Post a Comment