Friday, April 23, 2010

Kami Bukan Sekadar Tubuh

Dua hari yang lalu saya berbincang dengan kakak saya yang berjenis kelamin laki-laki. Dia kakak saya karena kami ditakdirkan dari satu rahim ibu yang sama. Tapi saya rasa, dia bukan kakak saya karena saya tidak tahu siapa dia. Mungkin ini akibat terlalu lama kami terpisah jarak—bukan jarak hidup memang, melainkan jarak tempat. Ya, itu rasa saya.
Ternyata jarak tempat sembilan tahun membuat saya semakin tidak mengenal dia. Salah satunya dari pembicaraan kami dua hari yang lalu, yakni tepat saat Indonesia memperingati hari Kartini. Ketika itu, setelah terlupakan kapan terakhir kami berbincang, kami berbincang lagi. Itupun tidak sengaja kami dipertemukan oleh media bernama facebook. Kukatakan sekali lagi, kami tidak sengaja mempertemukan diri untuk berbincang. Ini karena kami telah sibuk mengurusi dunia kami masing-masing.
Tetapi, dua hari lalu itu saya sedikit mengurusi dunianya. Tidak lebih karena saya ingin dia mendapatkan seseorang untuk teman hidupnya. Dan, saya pikir wanita ini ideal dengannya. Ya, ini mungkin keinginan kecil dari seorang yang sedang memosisikan diri sebagai adik. Saya kenalkan dia pada seorang sahabat saya agar dia mau mengenalnya lebih baik. Tetapi, responnya mengejutkan saya.
“Bekas.” Satu kata itu membuat saya terintimidasi, padahal saya tahu itu bukan ditujukan pada saya. Tapi, saya sebagai wanita telah terintimidasi. Lalu, dari sana saya mulai berpikir dengan nalar sederhana saya.
Bekas. Menurut saya ini bermakna satu hal atau benda yang tersisa atau yang telah terpakai; satu hal atau benda yang tidak baru lagi; second—tangan kedua; yang bisa jadi tidak lebih baik dari hal atau benda yang baru (belum tersentuh sama sekali). Dan, kata “bekas” itu sungguh berbekas di hati saya.
Saya jadikan responnya itu sebagai representasi dari respon lelaki. Ternyata, lelaki masih ada yang mempermasalahkan “kebekasan” seorang wanita—apakah wanita itu pernah berpacaran dengan lelaki lain atau tidak; atau mempermasalahkan bagaimana gaya berpacaran si wanita. Saya akui, dia berespon seperti itu pada sahabat saya (padahal kenal pun belum sama sekali) karena di persepsinya sahabat saya ini gaya berhubungannya dengan kekasihnya dulu sama seperti gaya berhubungan lelaki-wanita masa kini. Jika begini yang saya pahami, saya pikir kakak saya tidak ingin rugi karena dia menganggap diri masih “baru”, sayang apabila dapat pasangan yang “bekas”. Ya, mungkin dia ingin mencari kesepadanan.
Yang saya sesalkan, ini terlontar dari kakak saya. Responnya menyiratkan seseorang yang belum bisa mencinta secara dewasa. Nanti, jika kelak saya bertemu dengan lelaki, saya akan coba paparkan “kebekasan” saya. Jika dia tidak bisa menerima, itu artinya dia masih mencinta dengan pamrihnya, bukan mencinta saya dengan alasan memang dia menerima saya tanpa butuh alasan.
Ironisnya, kami berbincang tepat di hari Kartini, yang katanya ia seorang yang begitu menggebu melontarkan semangat emansipasi. Tapi saya pikir, dari kejadian ini, eksistensi kami masih seperti dikebiri tepat di hari Kartini. Kami masih dipersalahkan dalam urusan tubuh kami—apakah masih “baru” atau dikotominya. Jika masih demikian persepsi lelaki, lalu diletakkan di mana urusan hati? Hai lelaki, coba pikirkan ini!

1 komentar:

Anonymous said...

like this. Saya suka gaya bahasanya. Keep posting.

Post a Comment