Tuesday, April 6, 2010

Ini Bukan Mimpi

Pagi ini wanita itu memelekkan mata seperti biasa. Tapi, ia teringat kalau hari ini hari Sabtu. Buat apa memelekkan mata seperti biasa di hari Sabtu, pikirnya. Lalu ia pejamkan kembali matanya. Tak terasa satu jam telah berlalu. Kembali ia terbangun. Kali ini ia terbangun karena mimpi, mimpi terlambat bangun pagi. Ia melekkan mata lagi dan melihat dari celah gordin bahwa mentari telah menyala di luar sana. Ini sudah tak pagi lagi. Ia lihat waktu di ponsel yang tergeletak setiap pagi di samping bantalnya. Sudah tak pukul lima lagi. Tapi, terpampang di ponselnya kata Saturday. Ya, ini hari Sabtu. Dan ia bernapas lega. Ternyata ia tidak telat bangun pagi. 
 Ia mulai membangunkan diri. Membuka gordin setengah dari lebarnya. Menerobos cepat cahaya, menyilaukan mata. Lalu mematikan lampu yang menemani tidurnya. Ia kembali ke kasur yang tak berdipan dengan kaki bersila. Rasanya hari ini lega karena ia tak perlu bangun pukul lima pagi. Lebih baik ia tidur lagi menuntaskan hasrat tidak perlu bangun pagi.
Di mimpi waktu berlalu dengan cepat. Sekali lagi ia bermimpi telat bangun pagi. Ketika terbangun dan mencerna lagi, kembali ternyata itu hanya mimpi. 
 Matahari sudah semakin terlihat mengganas dan hari sudah mulai panas. Mata wanita itu sudah tak ingin lagi diajak terpejam. Ia ambil remote control yang selalu ada di sebelah bantal bersama ponsel dan memencetkan tombol empat. Ia suka acara program di tombol empat. Terlihat di layar kaca seorang wanita sedang sibuk memperagakan cara memasak cokelat. Terlihat cokelat batang dicacah tak sama rata lalu diletakkan di mangkuk kaca yang katanya tahan panas. Mangkuk itu lalu diletakkan di atas wajan terisi air dan cokelat meleleh lambat-lambat. Menontonnya, air liur wanita itu ikut meleleh.
 Ini acara kesukaannya setiap ia bangun. Dan, selalu tepat waktu ketika ia bangun dan memencetkan tombol empat remote control-nya dengan ajaib acara yang sama setiap hari muncul. Ah bukan, hanya hari Sabtu. Ya, hanya hari Sabtu ia lihat acara wanita pemasak itu. Seperti biasa, ia habiskan hari Sabtu di atas kasur. Menonton acara yang selalu sama di teve kecilnya. Setelah selesai acara wanita pemasak, sekarang gantian teve menampilkan Si Bapak Tua yang diberkahi mencicipi makanan dari segala pelosok negeri. Si Bapak Tua itu selalu membuat ia iri. Ia ingin juga bisa mencicipi makanan dari segala negeri. Tapi, mana mungkin karena ia selalu bangun jam lima pagi dan selalu menghabiskan waktu di tempat yang sama setiap hari. Tak apalah, biasanya energi iri itu ia tumpahkan dengan cara membeli lontong sayur di penjual depan rumah lalu memakannya ketika Si Bapak Tua sedang asyik mencicipi makanan dan mengomentarinya seolah dengan rasa nikmat tiada dua. Ia rasai lontong sayur itu seperti makanan yang dicicipi Bapak Tua di teve. Iri lumayan terobati.
 Habis sarapan pagi, habis pula acara Si Bapak Tua. Teve melanjutkan acara lain yang tidak menarik hatinya lagi. Kembali ia rebahkan diri dan mulai memejamkan mata karena kantuk mulai menyerang ketika ia sudah kenyang. Ah, sial. Ia bermimpi hal sama lagi. Sekali lagi ia bermimpi telat bangun pagi. Kali ini ditambah dengan gerutunya. Ia jadi benci tidur hari ini. Lalu ia bangun dan berpikir. Tidak, bukan tubuhnya yang bangun. Hanya mata dan pikirnya. Mungkin karena aku terlalu takut terlambat masuk kerja setiap hari, makanya aku jadi takut terlambat bangun pagi, pikirnya. 
 Tubuhnya telah mengikuti ritmenya. Dengan sendirinya mata terbuka setiap pukul lima pagi, malah selalu mendahului alarm ponsel yang berdering tepat waktu. Sering ia matikan alarm itu sebelum berbunyi. Ia sendiri baru sadar bahwa tubuhnya ajaib. Tubuhnya mampu mengalahkan alarm itu. Pikirnya sambil menatap langit kamar.
Biasanya setelah bangun pukul lima pagi, kunyalakan dispenser. Dalam penungguanku selama lima belas menit sebelum air mendidih, biasanya berbaring lagi memeluk guling. Lumayan menambah jatah memejamkan mata barang semenit. Setelah sadar diri, kuambil nasi dan lauk yang kusiapkan tadi malam. Makan. Dan, diakhiri minum air hangat hasil penungguanku. Mandi. Bersiap diri. Dan pergi. Pulang-pulang kulihat jam sudah pukul lima lagi. Berganti pakaian dan merebahkan diri. Bangun-bangun kamarku menggelap karena di luar matahari telah terlelap. Kubangunkan diri tanpa ada air membersihkannya barang seelap. Kuambil nasi dan lauk yang kubeli ketika perjalanan pulang tadi. Makan lagi. Mengambil remote control dan membiarkan suara-suara dari teve bergema sendiri karena kusibuk menyiapkan materi dan itu-ini untuk besok lagi. Itu rutinitasku tiap hari, ceritanya dalam hati sambil terus menatap langit kamar.
Kini ia bangunkan tubuhnya. Ia duduk tetap menetap dan menatap lantai kamarnya. Terkejut ia. Didapatinya helaian-helaian rambut di sana-sini, bercak totol-totol hitam seperti tai lalat melekat di lantai dekat meja kecil samping kasurnya. Di atas meja kecil itu ia lihat tumpukan file berkisar empat puluh centi tersusun tidak rata. Di samping tumpukan file itu dilihatnya bedak tabur, beberapa botol parfum, obat penyubur rambut, lotion, krim pagi, krim malam, satu paket seperti dompet tempat pemulas mata, pipi, dan bibir. Alas bedak, krim pengencang payudara, pelentik bulu mata, maskara berbagai warna, dan banyak lagi alat yang dipakaikan ke tubuhnya sampai ia sendiri berpikir bahwa begitu banyak alat yang ia jadikan topeng untuk menutupi keadaan sebenarnya. Ah, tidak, itu dilakukan hanya karena tuntutan profesi. Tiap hari aku akan dilihat oleh puluhan mata. Bukan hanya materi yang akan didengar mereka. Mau tidak mau, mereka akan melihat penampilan si pemateri itu juga, pikirnya melawan pendapatnya sendiri.
Matanya kemudian menerawang ke arah debu yang menempel di atas meja tempat monitor komputernya. Di bawah meja itu, terdapat tiga tingkat rak buku, bukan, rak kertas tepatnya, yang tersusun asal saja. Di bawah kolong rak itu, debu menempel dan beberapa mengintip dari sudut-sudut kaki meja. Ada pula debu yang terhampar tanpa malu bersama dengan helaian rambut berbaur jadi satu. Belum lagi lantai kamar mandi yang ia bayangkan bagaimana menguningnya karena lama tak disikat. Inilah hasil kerjanya berhari-hari.
Lalu ia pun teringat dahulu. Ia masih suka bersih-bersih. Bahkan sering ia mencuci. Sekarang alih-alih mencuci, setiap jumat malam ia selalu ke laundry. Ya itu dahulu ketika ia masih mahasiswi. Banyak waktu yang ia punyai. Tapi kini tidak lagi. Kembali ia rebahkan diri. Tidak, ia tidak menyesali diri. Mungkin beginilah kaum pekerja yang sudah tidak punya waktu mengurus itu-ini. Bahkan untuk memikirkan diri sendiri. Hanya hari ini dan besok aku bisa habiskan waktu untuk memejamkan mata lebih lama dari biasa dan membiarkan tubuh terlena sementara, setelah itu rutinitas menanti seperti biasa. Katanya dalam hati.
Lalu ia tertidur lagi dan berharap tidak mimpi bangun jam lima pagi.

Dago, Maret 2010 
(based true story) 




 

0 komentar:

Post a Comment