Monday, April 19, 2010

Hippo Time

Hippo Time diperkenalkan oleh seorang penulis bernama Paul McGee. Intinya adalah waktu tenang, yakni waktu ketika Anda merenung, memikirkan ataupun menenangkan diri dari suatu pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami.”

Setelah selesai membaca satu paragraf dari artikel suatu majalah mungil yang ia pinjam dari perpustakaan, ia bergeming. Sendiri hening. Rekaman masa lalu yang ia simpan rapi di sisi memori-memori lain otaknya kembali terputar. Rekaman sepuluh tahun lalu itu sedikit menusuk hati yang ia sendiri pun tidak tahu pasti di mana letak hati dalam tubuhnya. Yang ia tahu ia merasakan nyeri di bagian yang orang namakan dada, tempat jantung berada.

“Terkadang terhadap orang yang berduka atau mengalami kemalangan kita berkata, “Ayolah lupakan saja. Segera bangkit lagi.” Memang, nasihat semacam ini berguna bagi orang tertentu. Tetapi, bagi beberapa jenis individu yang membutuhkan waktu tenang, justru itu bukanlah nasihat terbaik. Secara psikologis, hippo time ini punya efek penyembuhan karena kita belajar menerima, berdamai, sekaligus melepaskan beban yang tidak menyenangkan itu.”

Ia lanjutkan membaca satu paragraf berikutnya. Kembali terdiam tanpa kata. Kembali rekaman masa lalu itu terputarkan tanpa jeda. Dan, ia yakini dengan rasa bahwa ia pernah mengalami hippo time dalam hidupnya. Dua tahun lalu, ia putuskan untuk berdamai dengan ketakutan akibat rekaman sepuluh tahun lalu itu—rekaman yang membuatnya mengutuk habis sebuah hubungan antara perempuan dan lelaki.
Ya, rekaman itu didapatkan dari orang terdekatnya. Ia merekam dengan nalar gadis usia empat belas tahun, merekam dengan jelas lewat mata dan hati bahwa hubungan perempuan dan lelaki yang tercermin dari orangtuanya tidak lebih dari sebuah tahi ayam. Ah, dia lebih suka menyebutnya tai ayam, tanpa ada huruf /h/ yang melekat di sana karena menurutnya huruf /h/ itu membuat kata tai jadi lebih elegan. Ia sama sekali tidak merasa tai itu elegan.
Mengapa tai ayam? Ya karena dengan pengalamannya hidup selama empat belas tahun ia sering menjumpai tai ayam di halaman rumahnya. Tai ayam yang baru dikeluarkan tidak akan terasa bau, tetapi ketika ia sudah lama diam di sana maka akan tercium bau menyengat. Sama dengan hubungan orangtuanya, dimulai dengan awal yang biasa saja, tetapi ketika telah bersama belasan tahun mulailah bau itu menyengat—bau kebosanan, bau kesalahpahaman yang dibiarkan, dan bau kesakithatian. Itu yang ia cerna ketika ia masih berusia empat belas tahun.
Akhirnya dari pengalaman itu ia putuskan untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau “hubungan perempuan-lelaki”, layaknya seperti tai ayam yang ia yakini semua orang pasti tidak akan suka. Mulai dari usia itu ia menarik diri dari lelaki. Mulai mengintimidasi lelaki. Lantas mengapa lelaki? Bukan “hubungan perempuan-lelaki” yang dianggapnya seperti tai? Itu karena ia begitu tidak suka pada sosok yang dunia namakan ayah. Sosok itu yang awalnya berulah, membuat memori buruk pada anak-anaknya. Oleh karena itu, dianggapnya lelaki sama seperti “hubungan perempuan-lelaki”. Berarti, “lelaki” dan “hubungan perempuan-lelaki” adalah tai!

Berjalanlah waktu. Sembilan tahun berlalu. Ia telah mendapatkan titik jenuh. Ia bosan sendiri. Ia ingin berbagi. Mungkin ini yang dinamakan naluri. Muncullah hippo time itu, sebuah waktu dari kulminasi sebuah rasa sendiri. Dulu ia suka memaki sepasang manusia yang jalan bergandeng tangan penuh mesra, tetapi kini ia ingini. Mulailah ia berdamai dengan diri, menyudahi kesakithatian yang telah mengerak di sudut hati. Karena ia sadari, semua itu percuma. Sia-sia.

Ah, tapi jangan kalian pikir ia tidak mengganggap “hubungan perempuan-lelaki” itu tidak seperti tai lagi. Persepsi itu masih mengerak di otak. Ia hanya berdamai dengan persepsi yang menilai bahwa lelaki itu tai. Itu saja. Ia pun mulai berdekatan dengan lelaki, mulai membuka hubungan dengan lelaki, tapi hanya sebuah hubungan tanpa ikatan. Tanpa komitmen. Tanpa menganggap seorang lelaki itu eksklusif. Hanya sebuah hubungan yang ia pakai untuk mengenal diri dan rasa dari manusia yang dinamakan lelaki. Dan, ia menikmati.

Dua tahun berlalu. Kembali ia rasai hippo time-nya, waktu saat ia mulai berdamai lagi dengan hidupnya karena ia merasa ia telah kembali berkulminasi. Kali ini kulminasi sebuah rasa sendiri dan rasa hati. Ia semakin merasa sendiri di kala banyak lelaki mendekati dengan tanpa hati. Ia semakin merasa dua tahun ia lewatkan dengan sia-sia karena hatinya terluka. Ya, ia pakai hati. Ia telah pakai hati. Hai dengar semua, gadis ini telah pakai hati! Awalnya ia pikir bisa tidak perlu melibatkan hati, tapi ternyata tidak. Hubungan tanpa ikatan itu telah membuatnya sakit hati—sebuah sakit hati yang sia-sia pada mereka! Huh, tapi ia anggap hal itu wajar karena dua tahun lalu ia belum jadi wanita yang mampu mencerna dengan logika.

Namun kali ini, saat ini, ketika kata-kata ini Anda baca, ia telah putuskan untuk melepaskan beban yang tidak menyenangkan baginya ini. Cukup baginya ia lewatkan beberapa hari belakangan ini untuk ber-hippo time. Ia mulai mencari jawaban yang bisa menabahkan diri tentang “hubungan perempuan-lelaki”. Ia mulai menganggap masalah orangtuanya dulu yang menjadi titik awal kebekuan hatinya adalah wajar karena itu hanya dinamika berumah tangga; mengganggap ketika itu orangtuanya sedang dicobai walaupun mereka tidak mampu melewati cobaan itu dengan baik; dan banyak alasan lain yang dimunculkan untuk berdamai dengan kesakithatian itu.

Kini, ia tidak ingin menjadi gadis lagi. Ia ingin menjadi wanita yang mampu mencerna dengan logika. Lalu hati ia simpan dengan baik sampai tiba waktunya nanti diberikan pada lelaki dengan terlebih dahulu membuat ikatan dengannya. Lalu kalau nanti tiba satu masa lelakinya mulai berulah sama seperti ayah, ia akan mempersepsikan diri bahwa ia sedang dicobai. Hanya tinggal lihat nanti apakah mereka bisa melewatkan cobaan itu atau tidak. Ayo dicoba! Oh tidak, jangan dicoba, tapi ayo lakukan! Hemphh, rasanya ini terdengar lebih baik.
Ya, kini ia berhasil menyembuhkan luka yang disimpan bertahun-tahun lamanya. God, just bless her.


Aku cerita tentangnya agar setidaknya kamu bisa menyediakan waktu sibukmu untuk berdamai dengan keras hati yang menjadi masalahmu.

3 komentar:

Felicia said...

Bu, yg bener 'tahi' atau 'tai' ya bu? kok saya jadi bingung...?

lithana said...

bakunya c tahi...

Anonymous said...

ngomongin kog tentang tahi... =="

Post a Comment